Selasa, 23 Februari 2016

ILMU AL QUR'AN DITINGGALKAN UMAT ?



 ILMU AL QUR’AN DITINGGALKAN UMAT ?

Temanku bertanya “Adakah pembelajaran Al Qur’an yang menarik dan memiliki target cepat selesai dengan out-put berkualitas?”. Anakku butuh pembelajaran Al Qur’an yang “instan” karena terbentur deadline yang diberikan pihak  akademik sebagai syarat kelulusan kesarjanaanya.
Problematika anak temanku mengingatkan kita pada fenomena umat Islam Indonesia masa kini. Menurut hasil pendataan BPS  bahwa Umat Islam Indonesia yang buta huruf Al Qur’an (Arab) mencapai 54%. Artinya, hanya 46% saja umat islam yang mampu membaca Al Qur’an. inipun dengan  klasifikasi  kemampuan membaca yang berbeda.
Angka yang sungguh fantastis! Idealnya hal ini menjadi sebuah pemetaan program prioritas bagi pemerintah bersama masyarakat peduli Al Qur’an agar masalah buta huruf Al Qur’an yang melanda umat Islam dapat teratasi dengan baik. Logikanya umat islam di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, mampu menekan angka dari 54% buta huruf Al Qur’an menjadi 10%.  Sehingga Ummat Islam yang berkemampuan membaca Al Qur’an mencapai 90%. Menurut pendapat beberapa ulama Qura, kalaupun ada angka 10%  yang buta huruf Al Qur’an, inipun masih merupakan “musibah” bagi islam, sebab untuk mengetahui Ulumul Qur’an, tentu wajib baginya memiliki kemampuan membaca huruf Arab  terlebih dahulu, karena bacaan Al Qur’an menggunakan bahasa Arab.
Mengapa di era yang serba canggih ini  bacaan  Al Qur’an semakin ditinggalkan umat?  Ironisnya ketika sharing tentang hal ini dengan beberapa pejabat pemerintah terkait, hanya direspon dengan sikap apatis (masa bodoh/ cuek). Dapat dipahami bahwa sikap yang terbentuk dari seseorang merupakan wujud dari mindset (pola pikir) orang tersebut. Hal ini dapat dibuktikan pada mindset positif empat orang ulama Qura di Surabaya yang telah berhasil menyusun buku tentang model pembelajaran Al Qur’an yang efektif dengan nama Tilawati.
Tilawati relevan dengan teori  Brain Based Learning, Multiple Intelligence, Contextual Teaching And Learning dan Developmentally Appropriate Practice (pendidikan yang patut sesuai tahap perkembangan) yang sangat memungkinkan akan keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan Tilawati siswa akan merasa nyaman berada di lingkungannya. Hal ini membuat pembelajaran lebih efektif dan siswa termotivasi untuk meningkatkan prestasinya, sehingga akan menghasilkan out-put pendidikan yang berkualitas.
Perguruan Tinggi UNESA, UIN Surabaya dan perguruan tinggi negeri – swasta lainnya di Surabaya telah mewajibkan mahasiswanya untuk memiliki sertifikat kelulusan membaca Al Qur’an sebagai syarat kelulusan kesarjanaannya dengan legalitas dari Lembaga Pengembangan Tilawati. Begitu pula sekolah-sekolah formal SD, SMP, dan SMA/SMK negeri dan swasta telah menggunakan  tilawati sebagai bagian dari kurikulum eksplisit. Tidak kalah penting dari hal itu, masyarakat dan pemerintah telah bersama –sama mengembangkan model pembelajaran tilawati di lingkungan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD formal & non Formal), Pendidikan non formal (Taman Pendidikan Al Qur’an, Diniyah Takmiliyah, Majlis Taklim dll). Alhasil pendidikan Al Qur’an di Surabaya semakin diminati sehingga genderang Al Qur’an semakin berkumandang semarak di kota tersebut.
Penulis terinspirasi mengangkat tema ini sebagai ketertarikan atas Model Pembelajaran (Al Qur’an) Tilawati yang di adopsi di lingkungan dunia pendidikan di Surabaya bahkan tersebar di seluruh Indonesia dan sudah di ujicobakan melalui pilot project Diklat Standarisasi Guru Al Qur’an Metode Tilawati.  Beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunai dan lainnya bahkan ada diantaranya lembaga kajian Islam di Amerika Serikat telah mengadopsi model pembelajaran tersebut. Pertanyaannya “mengapa model pembelajaran (Al Qur’an) Tilawati menarik simpatik semua kalangan?

Model pembelajaran (Al Qur’an) tilawati memiliki 3 karakteristik  yakni:
1.      Diajarkan secara praktis,
Pembalajaran Tilawati menggunakan praktek secara sistematis yang berorientasi pada pengembangan potensi siswa dalam kemampuan skill verbalnya.
2.      Menggunakan lagu Rost
Hakekatnya manusia menyukai keindahan sebagai bentuk dari rasa senang yang dialami oleh seseorang melalui otak emosinya (limbik). Berdasarkan penelitian Gardner bahwa kecerdasan seseorang bersifat multiple (majemuk). Lagu menempati wilayah Imajinasi dan musik yang terdapat pada otak kanan manusia memiliki sifat keberfungsian mudah menerima informasi (pelajaran) dan tidak cepat lupa.
Menerapkan lagu Rost dalam pembelajaran (Al Qur’an) Tilawati mengandung kemudahan untuk dipelajari oleh semua kalangan, dari anak-anak-, remaja maupun dewasa. Adapun lagu Rost merupakan bagian dari seni membaca Al Qur’an yang memiliki 7 Standar lagu.
3.      Diajarkan secara klasikal menggunakan peraga dan tehnik baca simak menggunakan buku
Peraga merupakan bagian terpenting dari perangkat pembelajaran agar dapat membantu kemudahan informasi yang dibutuhkan oleh siswa. Sutanto Windura dalam bukunya Learn How To Learn mengatakan bahwa untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif harus memahami typologi pembelajarnya. Kategori pembelajar ada 3 tipe yaitu: 1.Pembelajar Auditorial. 2. Pembelajar Visual 3. Pembelajar kinestetikal.

MENCEGAH RADIKALISME PADA ANAK



MENCEGAH  RADIKALISME PADA ANAK


Hampir di setiap stasiun televisi maupun media cetak memberitakan tentang tindakan radikalisme pelaku teror yang telah melakukan aksi keji pengeboman di jalan MH.Thamrin Jakarta, beberapa hari yang lalu hingga menewaskan orang-orang yang berada di sekitarnya. Penulis tentunya tidak akan mengangkat tema yang berkaitan dengan aksi teror tersebut, namun  bagaimana implikasi dari tindakan radikalisme terhadap anak  ditinjau dari aspek pendidikan.
Radikalisme merupakan bagian dari wilayah emosi yang keberadaannya mengelilingi dan membatasi batang otak yang disebut dengan sistem limbic asal kata latin limbus yang berarti cincin. Daniel Goleman (1996: 14) dalam bukunya “Emotional Intellegece” (kecerdasan emosi) menyatakan “Bila kita dikuasai oleh hasrat atau amarah, sedang jatuh cinta atau mundur ketakutan, maka sistem limbic itulah yang sedang mencengkeram kita”.
Ratna Megawangi (2007:26) berpendapat bahwa sistem limbic mengontrol setiap informasi yang masuk, dan memilah hanya informasi yang berharga akan disimpan. Karena itulah sistem limbic otak sangat menentukan terbentuknya daya ingat jangka panjang (long-term memory). Oleh karenanya otak emosi merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh setiap orangtua dan pendidik.
Artinya, peran orangtua dan guru yang mendidik anak dengan cinta maka akan sangat mudah anak tersebut dibentuk menjadi manusia yang berakhlak mulia. Menurut hasil penelitian, anak-anak usia 2 tahun sudah dapat diajarkan nilai-nilai moral bahkan mereka sudah dapat mempunyai perasaan empati terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain dengan ekspresi empatinya. Sedangkan empati dapat terus tumbuh subur adalah tergantung dari emotional bonding dengan ibunya pada usia-usia awal kehidupan anak tersebut.
Memberikan kasih sayang saja tidak cukup, tetapi anak perlu diajarkan disiplin dan diarahkan pada kebaikan. Pendidikan Karakter yang diberikan pada anak usia dini dapat membentuk perilaku positif, kemampuan mengelola emosi, percaya diri, kemampuan berinteraksi sosial dan kemampuan akademik.
Problematikanya, konsepsi yang salah dari orangtua dan guru yang beranggapan bahwa keberhasilan anak usia dini di sekolah ditentukan oleh kemampuan anak membaca dan berhitung, sehingga banyak praktek-praktek pendidikan anak usia dini yang terlalu menekankan pendidikan akademik (kognitif) dan mengecilkan pentingnya pendidikan karakter (emosi) adalah penyebab utama gagalnya membangun manusia yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dari beberapa studi yang menunjukkan bahwa keberhasilan manusia dalam dunia kerja 80% ditentukan oleh kualitas karakternya, dan hanya 20% ditentukan oleh kemampuan akademiknya.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak.
DR. Thomas Lickona, Direktur Center for 4th  and  5th Rs, SUNNY Cortland, USA mengemukakan bahwa Walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa. Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Faktor moral (akhlak) anak adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Hal ini menjadi kewajiban utama yang harus dijalankan oleh orangtua dan pendidik.
Dalam perspektif Islam Ibnu Jazzar Al-Qairawani menyatakan “Sebenarnya sifat-sifat  buruk yang  timbul dari diri anak bukanlah lahir dari fitrah mereka. Sifat-sifat tersebut terutama timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan pendidik. Semakin dewasa usia anak, semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa yang menyadari  sifat-sifat buruknya, tetapi tidak mampu mengubahnya. Karena sifat-sifat buruk itu sudah kuat mengakar di dalam dirinya, dan menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Maka berbahagialah para orangtua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat buruk sejak dini, karena dengan demikian mereka telah menyiapkan dasar kuat bagi kehidupan anak di masa datang”.
Dapat disimpulkan bahwa terbentuknya sifat radikalisme pada anak adalah  bentuk kegagalan sebuah pendidikan. Pendidikan memiliki beberapa komponen yang saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Keterkaitan yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena itu dibutuhkan adanya  hubungan kerjasama yang baik antara pendidikan di sekolah dan di luar lingkungan sekolah (keluarga dan masyarakat). Selanjutnya penanaman moral melalui pendidikan karakter merupakan urgenitas bagi setiap individu. Bangsa yang beradab adalah cerminan dari karakter masyarakatnya yang baik, dan masyarakat yang baik merupakan cerminan individu yang berkualitas.