Selasa, 23 Februari 2016

MENCEGAH RADIKALISME PADA ANAK



MENCEGAH  RADIKALISME PADA ANAK


Hampir di setiap stasiun televisi maupun media cetak memberitakan tentang tindakan radikalisme pelaku teror yang telah melakukan aksi keji pengeboman di jalan MH.Thamrin Jakarta, beberapa hari yang lalu hingga menewaskan orang-orang yang berada di sekitarnya. Penulis tentunya tidak akan mengangkat tema yang berkaitan dengan aksi teror tersebut, namun  bagaimana implikasi dari tindakan radikalisme terhadap anak  ditinjau dari aspek pendidikan.
Radikalisme merupakan bagian dari wilayah emosi yang keberadaannya mengelilingi dan membatasi batang otak yang disebut dengan sistem limbic asal kata latin limbus yang berarti cincin. Daniel Goleman (1996: 14) dalam bukunya “Emotional Intellegece” (kecerdasan emosi) menyatakan “Bila kita dikuasai oleh hasrat atau amarah, sedang jatuh cinta atau mundur ketakutan, maka sistem limbic itulah yang sedang mencengkeram kita”.
Ratna Megawangi (2007:26) berpendapat bahwa sistem limbic mengontrol setiap informasi yang masuk, dan memilah hanya informasi yang berharga akan disimpan. Karena itulah sistem limbic otak sangat menentukan terbentuknya daya ingat jangka panjang (long-term memory). Oleh karenanya otak emosi merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh setiap orangtua dan pendidik.
Artinya, peran orangtua dan guru yang mendidik anak dengan cinta maka akan sangat mudah anak tersebut dibentuk menjadi manusia yang berakhlak mulia. Menurut hasil penelitian, anak-anak usia 2 tahun sudah dapat diajarkan nilai-nilai moral bahkan mereka sudah dapat mempunyai perasaan empati terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain dengan ekspresi empatinya. Sedangkan empati dapat terus tumbuh subur adalah tergantung dari emotional bonding dengan ibunya pada usia-usia awal kehidupan anak tersebut.
Memberikan kasih sayang saja tidak cukup, tetapi anak perlu diajarkan disiplin dan diarahkan pada kebaikan. Pendidikan Karakter yang diberikan pada anak usia dini dapat membentuk perilaku positif, kemampuan mengelola emosi, percaya diri, kemampuan berinteraksi sosial dan kemampuan akademik.
Problematikanya, konsepsi yang salah dari orangtua dan guru yang beranggapan bahwa keberhasilan anak usia dini di sekolah ditentukan oleh kemampuan anak membaca dan berhitung, sehingga banyak praktek-praktek pendidikan anak usia dini yang terlalu menekankan pendidikan akademik (kognitif) dan mengecilkan pentingnya pendidikan karakter (emosi) adalah penyebab utama gagalnya membangun manusia yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dari beberapa studi yang menunjukkan bahwa keberhasilan manusia dalam dunia kerja 80% ditentukan oleh kualitas karakternya, dan hanya 20% ditentukan oleh kemampuan akademiknya.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak.
DR. Thomas Lickona, Direktur Center for 4th  and  5th Rs, SUNNY Cortland, USA mengemukakan bahwa Walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan. Oleh karena itu penanaman moral melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa. Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi pada masyarakatnya. Faktor moral (akhlak) anak adalah hal utama yang harus dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib, aman dan sejahtera. Hal ini menjadi kewajiban utama yang harus dijalankan oleh orangtua dan pendidik.
Dalam perspektif Islam Ibnu Jazzar Al-Qairawani menyatakan “Sebenarnya sifat-sifat  buruk yang  timbul dari diri anak bukanlah lahir dari fitrah mereka. Sifat-sifat tersebut terutama timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orangtua dan pendidik. Semakin dewasa usia anak, semakin sulit pula baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa yang menyadari  sifat-sifat buruknya, tetapi tidak mampu mengubahnya. Karena sifat-sifat buruk itu sudah kuat mengakar di dalam dirinya, dan menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Maka berbahagialah para orangtua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya dari sifat-sifat buruk sejak dini, karena dengan demikian mereka telah menyiapkan dasar kuat bagi kehidupan anak di masa datang”.
Dapat disimpulkan bahwa terbentuknya sifat radikalisme pada anak adalah  bentuk kegagalan sebuah pendidikan. Pendidikan memiliki beberapa komponen yang saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Keterkaitan yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena itu dibutuhkan adanya  hubungan kerjasama yang baik antara pendidikan di sekolah dan di luar lingkungan sekolah (keluarga dan masyarakat). Selanjutnya penanaman moral melalui pendidikan karakter merupakan urgenitas bagi setiap individu. Bangsa yang beradab adalah cerminan dari karakter masyarakatnya yang baik, dan masyarakat yang baik merupakan cerminan individu yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar