MENCEGAH RADIKALISME PADA ANAK
Hampir di setiap stasiun
televisi maupun media cetak memberitakan tentang tindakan radikalisme pelaku
teror yang telah melakukan aksi keji pengeboman di jalan MH.Thamrin Jakarta, beberapa
hari yang lalu hingga menewaskan orang-orang yang berada di sekitarnya. Penulis
tentunya tidak akan mengangkat tema yang berkaitan dengan aksi teror tersebut,
namun bagaimana implikasi dari tindakan
radikalisme terhadap anak ditinjau dari
aspek pendidikan.
Radikalisme merupakan
bagian dari wilayah emosi yang keberadaannya mengelilingi dan membatasi batang
otak yang disebut dengan sistem limbic asal kata latin limbus yang berarti cincin. Daniel Goleman (1996: 14) dalam bukunya
“Emotional Intellegece” (kecerdasan
emosi) menyatakan “Bila kita dikuasai oleh hasrat atau amarah, sedang jatuh
cinta atau mundur ketakutan, maka sistem limbic itulah yang sedang mencengkeram
kita”.
Ratna Megawangi (2007:26)
berpendapat bahwa sistem limbic mengontrol setiap informasi yang masuk, dan
memilah hanya informasi yang berharga akan disimpan. Karena itulah sistem
limbic otak sangat menentukan terbentuknya daya ingat jangka panjang (long-term memory). Oleh karenanya otak
emosi merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh setiap orangtua dan
pendidik.
Artinya, peran orangtua
dan guru yang mendidik anak dengan cinta maka akan sangat mudah anak tersebut
dibentuk menjadi manusia yang berakhlak mulia. Menurut hasil penelitian,
anak-anak usia 2 tahun sudah dapat diajarkan nilai-nilai moral bahkan mereka
sudah dapat mempunyai perasaan empati terhadap kesulitan dan penderitaan orang
lain dengan ekspresi empatinya. Sedangkan empati dapat terus tumbuh subur
adalah tergantung dari emotional bonding
dengan ibunya pada usia-usia awal kehidupan anak tersebut.
Memberikan kasih sayang
saja tidak cukup, tetapi anak perlu diajarkan disiplin dan diarahkan pada
kebaikan. Pendidikan Karakter yang diberikan pada anak usia dini dapat
membentuk perilaku positif, kemampuan mengelola emosi, percaya diri, kemampuan
berinteraksi sosial dan kemampuan akademik.
Problematikanya, konsepsi
yang salah dari orangtua dan guru yang beranggapan bahwa keberhasilan anak usia
dini di sekolah ditentukan oleh kemampuan anak membaca dan berhitung, sehingga banyak
praktek-praktek pendidikan anak usia dini yang terlalu menekankan pendidikan
akademik (kognitif) dan mengecilkan pentingnya pendidikan karakter (emosi)
adalah penyebab utama gagalnya membangun manusia yang berkualitas. Hal ini
dibuktikan dari beberapa studi yang menunjukkan bahwa keberhasilan manusia
dalam dunia kerja 80% ditentukan oleh kualitas karakternya, dan hanya 20%
ditentukan oleh kemampuan akademiknya.
Karakter yang berkualitas
perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini. Usia dini merupakan masa kritis bagi
pembentukan karakter seseorang. Banyak pakar mengatakan bahwa kegagalan
penanaman karakter pada seseorang sejak usia dini, akan membentuk pribadi yang
bermasalah di masa dewasanya kelak.
DR. Thomas Lickona,
Direktur Center for 4th and 5th Rs, SUNNY Cortland, USA
mengemukakan bahwa Walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari total jumlah
penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan. Oleh karena itu penanaman moral
melalui pendidikan karakter sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk
membangun bangsa. Sebuah peradaban akan menurun apabila terjadi demoralisasi
pada masyarakatnya. Faktor moral (akhlak) anak adalah hal utama yang harus
dibangun terlebih dahulu agar bisa membangun sebuah masyarakat yang tertib,
aman dan sejahtera. Hal ini menjadi kewajiban utama yang harus dijalankan oleh
orangtua dan pendidik.
Dalam perspektif Islam
Ibnu Jazzar Al-Qairawani menyatakan “Sebenarnya sifat-sifat buruk yang timbul dari diri anak bukanlah lahir dari
fitrah mereka. Sifat-sifat tersebut terutama timbul karena kurangnya peringatan
sejak dini dari orangtua dan pendidik. Semakin dewasa usia anak, semakin sulit
pula baginya untuk meninggalkan sifat-sifat buruk. Banyak sekali orang dewasa
yang menyadari sifat-sifat buruknya,
tetapi tidak mampu mengubahnya. Karena sifat-sifat buruk itu sudah kuat
mengakar di dalam dirinya, dan menjadi kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
Maka berbahagialah para orangtua yang selalu memperingati dan mencegah anaknya
dari sifat-sifat buruk sejak dini, karena dengan demikian mereka telah
menyiapkan dasar kuat bagi kehidupan anak di masa datang”.
Dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya sifat radikalisme pada anak adalah
bentuk kegagalan sebuah pendidikan. Pendidikan memiliki beberapa
komponen yang saling terkait dan berpengaruh satu sama lain. Keterkaitan yang
bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena itu dibutuhkan adanya hubungan kerjasama yang baik antara pendidikan
di sekolah dan di luar lingkungan sekolah (keluarga dan masyarakat).
Selanjutnya penanaman moral melalui pendidikan karakter merupakan urgenitas
bagi setiap individu. Bangsa yang beradab adalah cerminan dari karakter
masyarakatnya yang baik, dan masyarakat yang baik merupakan cerminan individu
yang berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar