Senin, 19 Oktober 2015

PERKEMBANGAN ANAK-ANAK DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN



 
A.      Masa  Anak-anak
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Otago, di Dunedin New Zeland pada 1000 anak-anak yang diteliti selama 23 tahun dan diamati kepribadiannya, dan diteliti kembali pada usia 18 dan 21 tahun, dan kemudian ketika mereka berusia 26 tahun. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang ketika usia 3 tahun telah diagnosa sebagai uncontrollable toddlers (anak yang sulit diatur, pemarah dan pembangkang), ternyata ketika usia 18 tahun menjadi remaja yang bermasalah, agresif, dan mempunyai masalah pergaulan. Pada usia 21 tahun mereka sulit membina hubungan sosil dengan orang lain dan ada yang terlibat dalam tindakan kriminal. Begitu pula sebaliknya anak-anak usia 3 tahun yang sehat jiwanya, ternyata setelah dewasa menjadi orang—orang yang berhasil dan sehat jiwanya[1]
Masa anak-anak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia 2 -13 tahun. Sejumlah ahli membagi masa anak-anak menjadi dua, yaitu masa anak-anak awal  dan masa anak-anak akhir. Masa anak-anak awal berlangsung dari usia 2-6 tahun, dan masa anak-anak akhir dari usia  6 tahun sampai anak matang secara seksual[2]
B.       Perkembangan Masa Anak-anak Awal (umur 2-6 tahun)
a.      Perkembangan Fisik
Perkembangan masa anak-anak awal atau sering disebut dengan masa prasekolah, yakni usia 2-6 tahun[3] Selama masa anak-anak awal, pertmbuhan fisik berlangsung lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi. Pertumbuhan fisik yang lambat dipengaruhi oleh asupan gizi yang kurang memadai maupun imunisasi yang tidak teratur.[4]


Mussen, conger & Kagan dalam Samsunuwiyati (2013:128) menyatakan:
Tinggi rata-rata anak bertumbuh 2,5 inci dan berat bertambah antara 2,5 hingg 3,5 kg setiap tahunnya. Pada usia 3 tahun, tinggi anak sekitar 38 inci dan beratnya sekitar 16,5 kg. Pada usia 5 tahun, tinggi anak mencapai 43,6 inci dan beratnya 21,5 kg.

Ketika anak usia prasekolah bertumbuh makin besar, persentase pertumbuhan dalam tinggi dan berat berkurang setiap tahun. Selama masa ini baik laki-laki maupun perempuan terlihat makin langsing sementara batang tubuh mereka makin panjang.
Pertumbuhan otak dan perkembangan sistem saraf berkelanjutan terjadi pada awal masa anak-anak. Pada usia 2 tahun, ukuran otaknya rata-rata 75% dari otaknya orang dewasa dan pada usia 5 tahun ukuran otaknya telah mencapai sekitar 90% otak orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah dan ukuran urat saraf yang berujung di dalam dan di antara daerah-daerah otak serta pertambahan myelination, yaitu suatu proses di mana sel-sel urat saraf ditutup dan disekat dengan lapisan sel-sel lemak. Beberapa ahli psikologi perkembangan percaya bahwa  myelination adalah penting dalam pematangan sejumlah kemampuan anak karena proses ini berdampak pada peningkatan kecepatan informasi[5].
Hasil riset otak mutakhir bahwa pada masa 3 tahun pertama adalah membangun fondasi struktur otak yang berdampak permanen. Ketika anak dilahirkan ada 100 milyar neuron dan 50 triliun  synapse, dan selanjutnya ada 1000 triliun synapse yang dibentuk. Synapse akan menetap bila membentuk sirkuit aktif  atau sering berfungsi, sedangkan sirkuit fungsional dibentuk melalui stimulasi yang konsisten, teratur berulang dan tuntas (selesai). Peran aktif pengasuh sangat penting untuk menstimulasi pengalaman anak yakni mengulang aktivitas yang sama dan mengeksplorasi hal-hal baru.[6]
Yang menentukan kecerdasan adalah jumlah interkoneksi (hubungan antar sel syaraf) bukan jumlah sel otak ataupun ukurannya. Maxwell Malt seorang peneliti asal Amerika dalam Ratna Megawangi (2008:9) mengatakan: “Jika manusia dapat mengaktifkan sekitar 7% dari sel otaknya, maka gambaran kecerdasan orang itu adalah bisa menguasai 12 bahasa dunia, memiliki 5 gelar kesarjanaan dan hafal ensiklopedi lembar demi lembar”. Adapun makanan otak hanya ada empat yaitu:
1.      Oxygen : Otak dapat bekerja secara optimal dengan latihan fisik
2.      Nutrition: Menyuplai energi untuk otak seperti: DHA, Asam Folat, zat besi dll
3.      Love: Otak dapat bertahan dan tumbuh (sistem syaraf mental)
4.      Information: menjadikan otak tumbuh dan berkembang.

Perkembangan fisik anak ditandai dengan berkembangnya ketrampilan motorik, baik kasar maupun halus. Usia 3 tahun anak sudah bisa berjalan dengan baik, usia 4 tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa, dan usia 5 tahun anak sudah terampil menggunakan kakinya untuk berjalan dengan berbagai cara, seperti maju-mundur, berlari, melompat dll, begitu juga mereka dapat melakukan tindakan tertentu secara akurat seperti menangkap bola, menggunting, menggambar dll.

b.      Perkembangan Kognitif
Dengan meningkatnya kemampuan anak untuk mengeksplorasi lingkungan karena bertambah besarnya kordinasi dan pengendalian motorik yang disertai dengan meningkatnya kemampuan bertanya dengan menggunakan kata-kata yang dimengerti orang lain, maka dunia kognitif anak berkembang pesat, makin kreatif, bebas dan imajinatif. Peningkatan pengertian anak tentang orang, benda dan situasi baru diasosiasikan dengan arti-arti yang telah dipelajari selama masa bayi.
Ø  Teori Piaget
Dalam teori perkembangan kognitif,  Piaget menjelaskan, bahwa  masa anak-anak awal dinamakan tahap praoperasional (praoperational stage), yakni menunjukkan keterbatasan anak pada aktivitas mental yang memungkinkan anak memikirkan pengalaman-pengalaman yang dialaminya. Pemikiran Praoperasional dibagi ke dalam dua subtahap, yaitu subtahap prakonseptual dan subtahap pemikiran intuitif[7]
Subtahap prakonseptual disebut juga dengan pemikiran simbolik (symbolic though) terjadi pada anak usia 2-4 tahun dengan karakteristik utama ditandai dengan munculnya sistem-sistem lambang atau simbol misalnya menggambarkan pisau yang terbuat dari plastik adalah sesuatu yang nyata, mewakili pisau yang sesungguhnya. Kata pisau sendiri bisa mewakili sesuatu yang abstrak seperti dari bentuk atau tajamnya. Sedangkan tulisan “pisau” akan memberikan tanggapan tertentu.
Kemunculan fungsi simbolis ditunjukkan dengan perkembangan bahasa yang cepat, permainan imajinatif dan peningkatan dalam peniruan. Perkembangan bahasa dalam fase prakonseptual dianggap sebagai hasil perkembangan simbolisasi. Ketika simbol penggunaan bahasa dimulai , maka terjadi peningkatan dalam kemampuan memecahkan masalah dan belajar dari kata-kata lain.
Subtahap Intuitif terjadi pada anak usia 4-7 tahun. Pada tahapan ini simbol-simbol anak meningkat kompleks, namun proses penalaran dan pemikirannya masih mempunyai ciri-ciri keterbatasan tertentu dan karakteristik lain adalah pemusatan perhatian pada satu dimensi dan mengesampingkan dimensi yang lain (centration).
Serangkaian pertanyaan yang diajukan anak, menunjukkan perkembangan mentalnya dan mencerminkan rasa keingintahuan intelektual, serta menandai munculnya minat anak-anak dalam penalaran.
Pengetahuan anak akan dibangun (Constructivism) melalui pengalaman/ action konkrit. Setiap pengalaman baru akan membangun pengetahuannya melalui proses asimilasi, yakni mengetahui sesuatu karena sudah ada pengalaman sebelumnya dan proses akomodasi, yakni proses memodifikasi apa yang diketahui sebelumnya karena menghadapi fenomena baru[8].

Ø  Perkembangan Persepsi

Pada periode prasekolah, penglihatan merupakan sumber informasi penting mengalami peningkatan. Persepsi visual ini terjadi melalui dua cara/bentuk. Pertama Diskriminasi visual (visual discrimination), yaitu kemampuan untuk melihat perbedaan-perbedaan terhadap yang mereka lihat. Kedua, Integrasi visual (visual integration), yaitu kemampuan untuk mengkordinasikan beberapa penglihatan dengan tindakan-tindakan fisik secara tepat namun dengan keterbatasan[9]. Contohnya, untuk berkomentar tentang lukisannya maka anak akan berhenti sejenak dari pekerjaannya karena tidak dapat melakukan pekerjaan sambil berbicara.
Pada tahapan ini pendengaran anak prasekolah lebih cepat dari persepsi visualnya, pada usia 2-3 tahun ketajaman pendengaran anak pada umumnya telah berkembang sangat baik, mampu mendengarkan suara kecil atau lunak seperti halnya orang dewasa.
Ø  Perkembangan Memori
Mengukur memori anak-anak lebih mudah dibandingkan dengan bayi, karena anak-anak telah dapat memberikan reaksi secara verbal namun masih kesulitan memahami perintah-perintah dalam pelaksanaan tugas. Dalam memori jangka pendek (short-term memory), kekuatan anak menyimpan informasi selama 15 hingga 30 detik, dengan asumsi tidak ada latihan atau pengulangan. Memori  rekognisi (recognition), yakni suatu kesadaran bahwa suatu objek itu sudah dikenalnya atau sudah dipelajarinya pada masa lalu. Anak usia 4 tahun mencapai ketepatan 75% dari waktunya dalam merekognisi gambar-gambar yang telah diperlihatkan satu minggu sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak memiliki memori rekognisi yang baik sekalipun telah mengalami penundaan untuk jangka waktu yang lama. [10]




Ø  Perkembangan Atensi
Atensi (attention) merupakan sebuah konsep multidimensional yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan ciri-ciri dan cara-cara merespons dalam sistem kognitif. Atensi pada anak telah berkembang sejak masa bayi. Aspek –aspek atensi yang berkembang  pada masa bayi ini memiliki arti yang sangat penting selama tahun-tahun prasekolah. Hilangnya atensi (habituation) dan pulihnya atensi (dishabituation) bila diukur pada 6 bulan pertama masa bayi, berkaitan dengan tingginya kecerdasan pada tahun-tahun prasekolah
Ø  Perkembangan Bahasa
Pada fase prakonseptual, pemikiran  simbolis anak-anak mengalami perkembangan bahasa yang pesat. Penguasaan kosa kata anak juga meningkat pesat. Anak mengucapkan kalimat yang makin panjang dan makin bagus. Schaerlaekens dalam  Mar’at (2013:139) mengatakan bahwa membedakan  perkembangan bahasa pada masa anak-anak ada tiga, yaitu periode pra-lingual (kalimat satu kata), periode lingual awal (kalimat dua kata) dari 1 hingga 2,5 tahun, dan periode differensiasi (kalimat tiga kata dengan bertambahnya diferensiasi pada kelompok kata dan kecapan verbal)  
c.       Perkembangan Psikososial
Masa awal anak-anak ditandai dengan perkembangan psikososial yang cukup pesat disamping perkembangan fisik dan kognitif  di antaranya permainan, hubungan dengan orang lain dan perkembangan moral.
Permainan merupakan bentuk aktivitas sosial yang dominan pada awal masa anak-anak. Hetherington & Parke dalam Mar’at (2013:141) mendefinisikan: “Permainan bagi anak-anak adalah suatu bentuk aktivitas yang menyenangkan yang dilakukan semata-mata untuk aktivitas sendiri, bukan karena ingin memperoleh sesuatu yang dihasilkaan dari aktivitas tersebut”. Permainan memiliki tiga fungsi utama yaitu:
Ø  Fungsi Kognitif Permainan, membantu perkembangan kognitif anak sehingga dapat menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek di sekitarnya dan belajar memecahkan masalah yang dihadapinya.
Ø  Fungsi Sosial Permainan, dapat meningkatkan perkembangan sosial anak khususnya dalam permainan fantasi (bermain peran) anak belajar memahami orang lain.
Ø  Fungsi Emosi Permainan, memungkinkan anak untuk memecahkan sebagian dari masalah emosionalnya, belajar mengatasi kegelisahan dan konflik batin.
Menurut pakar teori kognitif mengidentifikasi 4 macam permainan yang berkembang sejalan dengan tahap-tahap perkembangan kognitif yaitu:
1.      Permainan Fungsional (functional play), yakni gerakan yang diulang-ulang seperti anak berlari-lari di sekitar arena permainan tanpa suatu alasan yang jelas kecuali hanya karena kesenangan berlari semata.
2.      Permainan Konstruktif (constructive play), bentuk permainan yang menggunakan objek-objek fisik untuk membangun atau membuat sesuatu.
3.      Permainan Dramatik (dramatic play), bentuk permainan yang dilakukan secara berpura-pura (bermain peran)
4.      Permainan dengan aturan (games with play), Permainan dengan aturan  dan sering kali berkompetisi dengan satu atau lebih.

Ø  Perkembangan Hubungan dengan orangtua

Pada masa prasekolah  hubungan orangtua atau pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan emosional  dan sosial anak. Salah satu aspek penting dalam hubungan orangtua dan anak adalah gaya /pola pengasuhan, yakni cara pengasuh dalam memberikan asuhan kepada anak meliputi: (1)pola asuh makan, (2) pola asuh afeksi, (3) pola asuh disipin, (4) pola asuh sosial dan (5) pola asuh rangsangan mental.
Pengasuhan menurut D. Baumrind dalam Ratna Megawangi (2008: 15) terbagi menjadi tiga yaitu autoritarian, permissive dan autoritatif.
1.      Autoritarian (otoriter), Orangtua membuat semua keputusan, kaku, anak harus patuh dan tidak boleh bertanya sehingga anak kehilangan kebebasan dan kemandirian untuk bertingkah laku karena aturan yang tidak fleksibel
2.      Permissive (permisif), Anak diberi kebebasan penuh untuk mengungkapkan keinginan dan kemauannyaserta diberi kebebasan untuk memilih.
3.      Autoritatif (demokrasi), orangtua menjelaskan tuntutannya kepada anak, responsif terhadap anak, menyusun standar yang jelas, mengawasi dan mengarahkan tingkah laku.
Ø  Perkembangan Hubungan dengan Teman Sebaya.
Perkembangan psikososial dan kepribadian sejak usia prasekolah hingga akhir masa sekolah ditandai oleh semakin meluasnya pergaulan sosial, terutama dengan teman sebaya. Teman sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering didefinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan sosial atau yang memiliki kesamaan ciri-ciri seperti kesamaan tingkat usia.[11] 
Hubungan sosial dengan teman sebaya memiliki arti sangat penting bagi perkembangan pribadi anak. Fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting adalah menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik tentang kemampuan-kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya. Anak-anak mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik, sama atau lebih jelek dari anak-anak lain. Orang lain dijadikan tolok ukur untuk membandingkan dirinya. Proses perbandingan sosial ini merupakan dasar dari pembentukan rasa harga diri dan gambaran diri anak.
Ø  Perkembangan Moral
Seiring dengan perkembangan sosial, anak-anak usia prasekolah juga mengalami perkembangan moral. Santrock dalam Mar’at (2013:149) menjelaskan bahwa  “perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan atauran dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain”. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral, tetapi dalam dirinya  terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan.
Perkembangan moral anak-anak prasekolah dibagi dua fase yaitu: 1). fase berfikir egosentris (self-oriented Moralit)), 2). fase patuh tanpa syarat (authority-oriented morality).[12]
1)        Fase Berfikir Egosentris
Lickona mengatakan fase ini berkisar pada usia 4 tahun, sedangkan Kohlberg bisa bermula dari 1-5 tahun yang disebut masa pre-conventional morality, yaitu tahapan reward and punihment (hadiah dan hukuman). Menurut Erikson anak pada usia 1-3 tahun adalah masa pembentukan autonomy versus shame and doubt (kemandirian lawan malu dan keraguan). Pada masa ini anak mau berbuat baik kalau ada insentif (hadiah atau pujian), dan takut mendapatkan hukuman kalau bersalah. Anak yang terlalu banyak dilarang dan dimarahi tidak akan terbentuk rasa kemandiriannya, sehingga anak menjadi pemalu dan tidak percaya diri. menghadapi anak ini adalah dengan memberi arahan lembut dan tegas dan memberikan alasan yang jelas mengapa sebuah perbuatan dilarang dilakukan.
2)        Fase Patuh Tanpa Syarat (authority- oriented morality)
Menurut Brofenbenner fase ini disebut authority- oriented morality (moralitas berdasarkan figur otoritas), yaitu anak percaya sekali kepada definisi baik dan buruk menurut figur otoritas, seperti orangtua dan guru. Menurut Thomas Lickona, fase ini berkisar antara usia 4,5 -6 tahun. Yang disebut fase patuh tanpa syarat. Anak-anak pada usia ini lebih mudah menurut dan di ajak kerja sama, sehingga mereka mudah mengerjakan perintah orangtua dan guru. Pada masa ini Erikson menyebutnya sebagai fase iniative versus guilt (inisiatif lawan rasa bersalah). Mereka harus diberi kesempatan untuk memilih dan menyalurkan kreativitasnya. Mereka dapat diberikan tanggungjawab atas perilakunya, mainan serta hewan peliharaannya.
Pada usia berikutnya (6,5-8 tahun), Thomas Lickona mengatakan bahwa ada perbedaan ciri perkembangan moral pada tahap sebelumnya (4,5-6 tahun). Mereka berbuat baik masih dalam tahap egosentris, yaitu untuk kepentingan pribadi dan membalas kebaikan kepada yang berbuat baik kepadanya.

C.      Perkembangan Masa  Pertengahan dan Akhir Anak-anak
Masa pertengahan dan akhir anak-anak merupakan kelanjutan dalam masa awal anak-anak. Periode ini berlangsung dari usia 6 tahun hingga tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Permulaan periode ini  ditandai dengan masuknya anak ke kelas satu sekolah dasar yang membawa perubahan besar dalam pola kehidupannya seperti terjadinya perubahan dalam sikap, nilai dan perilaku.[13]
a.      Perkembangan Fisik
Sampai dengan usia 6 tahun terlihat badan anak bagian atas berkembang lebih lambat daripada bagian bawah. Selama masa akhir anak-anak, tinggi bertumbuh sekitar 5 hingga 6% dan berat badan bertambah sekitar 10% setiap tahun. Pada masa ini peningkatan berat badan anak lebih banyak daripada panjang badannya.
Pertumbuhan fisik selama masa ini memberikan kemampuan pada anak-anak untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas baru, tetapi juga dapat menimbulkan permasalahan-permasalan dan kesulitan-kesulitan secara fisik dan psikologi bagi mereka. Pada usia 7-10 tahun koordinasi motorik halus anak berkembang. Pada usia 10-12  tahun mereka memperlihatkan gerakan-gerakan yang kompleks, rumit dan cepat untuk menghasilkan karya yang kerajinan yang bermutu bagus.
b.      Perkembangan Kognitif
Menurut teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar disebut pemikiran operasional konkrit (concrete operational thought). Yang dimaksud dengan operasi adalah hubungan-hubungan logis di antara konsep-konsep atau skema-skema . sedangkan operasi konkrit adalah aktifitas mental yang yang difokuskan pada objek-objek yang nyata atau konkrit dapat diukur.
Johnson & Medinnus dalam Mar’at (2013:156) berpendapat bahwa Anak-anaak pada masa konkrit operasional ini telah mampu menyadari konservasi, yakni kemampuan anak untuk berhubungan dengan sejumlah aspek yang berbeda secara serempak karena pada masa ini anak telah mengembangkan tiga macam proses yang disebut dengan operasi: negasi/ negation  (anak memahami proses apa yang terjadi di antara kegiatan itu dan memahami hubungan-hubungan antara keduanya), resiprokasi (hubungan timbal balik) dan identitas (sudah bisa mengenal satu persatu benda-benda yang ada pada deretan-deretan itu).
Istilah Emotional Intellegence yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman berdasarkan hasil penelitian tentang neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya  dengan kecerdasan intelektual. Goleman berkesimpulan bahwa manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional[14].
Dengan berkembangnya teknologi pencitraan otak / brain imaging (sebuah teknologi yang kini membantu para ilmuwan dalam memetakan hati manusia) semakin memperkuat keyakinan bahwa otak memiliki bagian rasional dan emosional yang saling bergantung.
Kecerdaasan emosional merujuk pada kemampuan perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik yaitu kemampuan –kemampuaan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak oarang cerdas (IQ) tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, sehingga dalam bekerja ia menjadi bawahan orang yang ber IQ  lebih rendah tetapi unggul dalam ketrampilan kecerdasan emosi.
c.       Perkembangan Psikososial
Pada masa ini mereka mulai sekolah dan mereka sudah mempelajari sesuatu yang berhubungan dengan manusia serta mulai mempelajari berbagai ketrampilan praktis. Relasi dengan keluarga dan teman sebaya terus memainkan peranan penting. Sekolah dan relasi relasi dengan para guru  menjadi aspek kehidupan anak yang semakin terstruktur. Pemahaman anak terhadap diri (self) berkembang dan perubahan-perubahan gender dan perkembangan moral menandai perkembangan anak.
Erikson berpendapat bahwa pada masa usia ini (6 tahun sampai pubertas awal) anak berada pada tahap industry versus inferiority. Kalau pada tahapan sebelumnya anak akan merasa gembira dapat berinisiatif untuk memulai sesuatu, pada tahapan perkembangan selanjutnya adalah anak merasa puas kalau telah selesai mengerjakan sesuatu. Erikson mengingatkan bahwa usia ini adalah usia yang paling genting karena apabila orangtua atau guru tidak dapat menanamkan sense of industry (rasa mampu untuk melakukan tugas), anak akan menjadi rendah diri (inferior) yang akan terbawa sampai usia dewasa.[15]
Thomas Lickona mengatakan masa ini bisa berlangsung pada usia 8,5 sampai 14 tahun dan akan mengalami  Fase Memenuhi Harapan Lingkungan (Peer- oriented Morality)
Jika pada fase sebelumnya kebenaran ditentukan oleh figur otoritas, pada tahap ini menurut Bronfenbrenner ditentukan oleh lingkungan sebayanya (peer group). Anak-anak pada fase ini ingin diterima oleh kawan-kawannya, sehingga tindakannya cenderung ingin disesuaikan dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan sebayanya. Anak sudah mengerti moral baik dan buruk (golden rule), tetapi lebih didorong oleh keinginan untuk dikatakan anak baik oleh lingkungannya.
D.      Implikasinya dalam Pendidikan
Ada pepatah   mengatakan bahwa mengajarkan anak-anak kecil ibaratnya seperti menulis di atas batu yang terus akan berbekas sampai  usia tua. Thomas Lickona menyatakan: “ Walaupun  jumlah anak-anak hanya 25 % dari total jumlah penduduk, tetapi menentukan 100% masa depan” oleh karena itu pendidikn sedini mungkin kepada anak-anak adalah kunci utama untuk membangun bangsa.
 Nurture, Faktor lingkungan, yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi sangat berperan di dalam menentukan “buah seperti apa yang akan dihasilkan nantinya dari  seorang anak. Dalam pendidikan dan pengasuhan perlu kita pertanyakan: apakah kita ingin merawat fitrah kebaikan sehingga dapat tumbuh menjadi “pohon” yang  kuat, atau kita diamkan saja dengan tidak “merawat”nya sehingga anak itu menjadi kerdil, atau kita ingin okulasi dengan sifat-sifat keburukan kepada anak?
Anak-anak usia dini memiliki potensi untuk berkembang, dalam proses tumbuh kembangnya pasti akan dikelilingi oleh sifat-sifat buruk yang beruasaha tumbuh menyaingi pertumbuhan fitrah tersebut. Maka sejak usia dini harus dirawat dan dididik dengan niali yang akan menyuburkan fitrah (kesucian manusia) untuk tumbuh kokoh.
Pendidikan yang dilakukan di sekolah dapat memberikan arahan mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap perkembangan umur anak, maka selayaknya setiap sekolah Taman Kanak-kanak da sekolah dasar dapat menerapkan pendidikan karakter di sekolahnya.

Minggu, 18 Oktober 2015

Solusi Pendidikan Menurut Islam




























































Dunia Pendidikan baru-baru ini dihebohkan oleh berita meninggalnya seorang siswa kelas 2 Sekolah Dasar (SD) di Jakarta yang dianiaya oleh temannya sendiri. Perdebatan panjang mencari siapa yang bersalah, justru  menambah pengaburan atas solusi masalah ini, karena semua memiliki alibi untuk membenarkan diri termasuk guru sebagai tenaga profesional.
Di kalangan praktisi pendidikan sering menjadi sebuah pertanyaan, siapakah guru profesional? taman-teman mahasiswapun sering mendiskusikan apakah semua guru layak disebut profesional? ataukah profeionalisme hanya diberikan kepada guru yang sudah bersertifikasi? lalu bagaimana guru profesional menurut islam sebagai solusi masalah pendidikan?

Seorang pendidik (guru) profesiona, harus memiliki kompetensi-kompetensi tertentu yang memungkinkan kewajibannya terlaksana secara baik. Kompetensi secara sederhana berarti kemampuan atau kecakapan. Kompetensi yang dimaksud berarti kemampuan atau kecakapan seoarang pendidik mengaplikasikan dan memenfaatkan situasi belajar-mengajar dengan menggunakan prinsip-prinsip, dan teknik penyajian pembelajaran yang telah disiapkan secara matang sehingga mampu diserap anak didiknya dengan mudah.
Abudin Nata (2012) menyatakan: "Hendaknya disadari bahwa profesi guru bukan untuk mengejar yang bersifat financial atau fisical happiness, melainkan lebih pada moral dan spiritual happines"

Dengan demikian kompetensi profesionalme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Artinya, guru yang piawai dalam menjalankan profesinya disebut sebagai guru kompeten dan profesional.

Adapun guru profesional menurut QS. An-Nisaa ayat 58 yang artinya: :Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. Dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat".

Dalam Konteks Tafsir  Pendidikan, kandungan ayat tersebut menjelaskan tiga indikator guru profesional, yaitu: 1. Memiliki Sikap Amanah (amanat) , 2.Memiliki Keahlian (ahl), 3. Memiliki Sikap Adil ('adl).

1. Memiliki Sikap Amanah (amanat)
Amanat mengandung arti bahwa seorang guru dapat dipercaya pertama amanah kepada Sang Khaliq yaitu sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh seorang hamba terhadap Tuhannya, seperti menjaga segala perintah-Nya dan menjauhi segala yang dilarang-Nya. Kedua, Amanah terhadap manusia adalah sesuatu yang harus dijaga dan dilaksanakan oleh seseorang terhadap orang lain, seperti berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akherat dengan jalan memberikan pendidikan yang baik serta usaha yang halal.  Ketiga, amanah terhadap dirinya sendiri yaitu seseorang yang menggunakan potensi dan kompetensinya untuk kemaslahatan baginya di dunia dan akherat.
 
2. Memiliki Keahlian (ahl)
Seorang pendidik yang profesional dalam pandangan Islam adalah seorang pendidik yang memiliki keahlian. Pendidikan yang dilakukan oleh guru yang tidak memiliki keahlian akan berdampak negatif berupa kerusakan mutu pendidikan.

3. Memiliki Sikap Adil ('adl)
Yang dimaksud dengan sikap adil, yakni memberikan hak kepada yang memilikinya dengan cara yang paling efektif. seperti kekesalan guru terhadap muridnya tidak boleh mengurangi nilai ujian, perhatian dan kasih sayang kepadanya. 
Dari keterangan ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam Islam masalah profesionalisme bukan hanya ditunjukkan dengan keahlian dan kemahiran dalam melakukan pekerjaan melainkan berkaitan pula dengan sikap amanah dan tanggungjawab terhadap Tuhan, masyarakat dan diri sendiri. Faktor penteladanan  baik (uswatun hasanah) adalah aspek penting yang harus dimiliki guru sebagai sosok yang digugu dan ditiru sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat 21 yang artinya: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah". 

Dalam konteks Tafsir Tarbawi, seorang guru berfungsi sebagai Role Mode (guru model) bagi siswanya yang mencakup ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap)dan skill (ketrampilan).
Diambil sebuah kesimpulan dalam bentuk pertanyaan:
"Apakah mungkin seorang guru yang memiliki sikap pemarah, berkata kasar akan mampu membentuk siswa yang sopan dan santun?, 
"Apakah  mungkin guru yang tidak memiliki keahlian (profesional) akan mampu mencetak siswa yang berprestasi?
"Dan apakah mungkin guru yang memiliki sikap dan berfikir statis akan mampu mewujudkan siswa yang cerdas, kreatif dan inovaatif?  (Wallahu A'lam Bisshawab)