INTELEKTUAL MUSLIM DAN GLOBALISASI DALAM
PEMBANGUNAN INDONESIA
Berbagai konflik sosial-ekonomi, fragmentasi politik, high technologi dan
budaya yang melanda bangsa Indonesia di masa sekarang adalah sebuah integritas dampak
dari globalisasi yang digerakkan oleh ideologi Barat yang berbasis pada paham pragmatism, hedonism, positivism,
rationalism dan materialisme yang
berakar pada anthropo-centrism yang sama sekali tidak melibatkan peran dan
kekuasaan Tuhan.
Integrasi ekonomi adalah sebuah kondisi dimana
perdagangan di antara bangsa-bangsa yang lain, dan sebaliknya. Dalam
keadaan demikian, maka timbullah
persaingan dagang antara setiap negara dalam suasana yang sangat ketat dan
tidak sehat, dan dengan kondisi ini terkadang menggunakan cara-cara yang tidak
legal dan mementingkan diri sendiri.
Sementara fragmentasi politik adalah sebuah
kondisi setiap individu semakin menuntut untuk diperlakukan secara lebih adil,
demokratis, manusiawi dan egaliter. Dalam keadaan demikian, maka berbagai
perlakuan yang dipandang melanggar hak-hak asasi manusia akan mendapatkan
penolakan yang terkadang dengan cara-cara yang berlebihan dan mengarah kepada
tindakan yang anrkhis, seperti praktik main hakim sendiri, melakukan tindakan
perusakan dan lain sebagainya.
Selanjutnya high technologi berkaitan dengan penggunaan teknologi canggih,
terutama dalam bidang komunikasi dan interaksi yang selanjutnya mengarah kepada
terjadinya perubahan pola komunikasi dan interaksi yang lebih bersifat jarak
jauh, serta penyalah gunaan peralatan teknologi canggih tersebut untuk
tujuan-tujuan yang merusak moral, kriminal dan sebagainya. Sementara itu
interdependensi adalah sebuah keadaan dimana antara bangsa-bangsa di dunia
sudah saling membutuhkan antara satu dan lainnya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup dalam arti yang seluas-luasnya. Dengan keadaan demikian, maka
kerjasama antara bangsa mau tidak mau harus dibangun yang terkadang sering
diwarnai oleh sikap saling mengkooptasi dan mendominasi antara satu dengan
lainnya.
Adapun new
colonization in culturale adalah keadaan budaya suatu bangsa lebih
menguasai budaya bangsa lain, karena didukung oleh peralatan teknologi canggih,
sehingga kebudayaan negara lain tersebut menjadi tergeser oleh budaya negara
tertentu. Dalam hal ini budaya barat yang hidonistik, materialistik, pragmatis
dan sekularistik sering mendominasi kehidupan bangsa Indonesia sebagaimana
terlihat dalam dampaknya dalam pola pergaulan, gaya hidup, dan pola komunikasi
yang tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Timbulnya
pergaulan bebas, sex bebas, foya-foya, dan berbagai tindakan amoral lainya yang
melanda para remaja dan pemuda pada umumnya adalah merupakan bukti adanya
penjajahan baru dalam bidang kebudayaan. Keadaan ini pada akhirnya menyebabkan
keutuhan diri manusia menjadi terancam.
Dampak dari budaya masyarakat global dan
masyarakat urban yang cenderung ingin serba cepat, instan rasional, efisien,
pragmatis, hedonis, materialistik, maka terjadi tingkat persaingan dalam
memperebutkan berbagai kebutuhan hidup yang makin tinggi. Kecenderungan
masyarakat untuk tinggal di kota yang areanya terbatas, sementara masyarakat
yang ingin tinggal di kota tersebut tidak memiliki bekal pengetahuan,
ketrampilan, dan mental yang memadai, maka lahirlah orang-orang yang sukses
tapi gagal dalam memperebutkan berbagai peluang yang ada di kota. Sulitnya
mendapatkan pekerjaan , tampat tinggal, tempat berdagang, pendidikan,
kesehatan, jalur lalu lintas, tempat buang sampah dan sebagainya menyebabkan
masyarakat yang tinggal di kota-kota besar mudah terhinggapi penyakit jiwa
seperti cemas, gelisah, miris, tegang, temperamental, kurang memiliki kemampuan
menguasai diri, stress, kehilangan akal sehat, dan akhirnya gila. Dalam keadaan
demikian praktek perdukunan atau paranormal amat mudah tumbuh. Demikian pula
orang-orang yang mengaku dirinya nabi, dan lainnya telah menambah lahirnya
permasalahan di kota-kota besar. Keadaan yang demikian pada akhirnya
mempersulit manusia untuk melihat sesuatu secara utuh, melainkan hanya dari
sudut kepentingannya sendiri atau individualistik.
Sebagai
akibat dari proses pembangunan yang lebih menekankan segi-segi materi dan
hal-hal yang bersifat kebutuhan jangka pendek telah mendorong lahirnya berbagai
kegiatan usaha di bidang industri dan jasa yang meningkat. Keadaan ini dari
satu segi memiliki dampak positif, karena telah ikut memecahkan problema
lapangan kerja. Namun karena jumlah lapangan kerja yang tersedia dibandingkan
dengan jumlah tenaga kerja tidak seimbang, yakni jumlah tenaga kerja yang jauh
lebih banyak dari tenaga kerja yang
tersedia, maka posisi dan daya tawar tenaga kerja menjadi amat lemah. Mereka
pada umumnya mendapatkan upah yang tidak layak, perlakuan yang tidak manusiawi
dan menjadikan mereka sebagai kapital dan elemen dari sebuah mesin ekonomi yang tidak memiliki
jiwa dan hati nurani. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses
dehumanisasi dan dislokasi yang intinya mereduksi nilai-nilai kemanusiaan dan
menghilangkan haknya untuk menyatakan pendapat dan kebebasannya sehingga
manusia tidak lagi dilihat secra utuh melainkan hanya sebagai skrup atau baut
dari sebuah mesin kehidupan ekonomi.
Akibat sulit mendapatkan berbagai kebutuhan
hidup serta adanya budaya yang kurang
sehat, yakni budaya hiprokit yang menghalalkan segala cara mengakibatkan
manusia harus bersifat bohong atau bersifat mendua, yakni sebuah penampilan
yang berbeda-beda dalam menyikapi sebuah masalah. Dalam keadaan demikian maka
jiwa manusia menjadi terpecah (split personality), sebagaimana terlihat
banyaknya orang yang menjalankan ibadah atau kegiatan keagamaan, namun dalam
waktu yang bersamaan mereka juga dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan agama, seperti melakukan praktek korupsi, mapia hukum,
menyuap , menggugurkan kandungan dan lainnya. Jiwa seperti ini juga terkait
erat dengan pola pikir (mindset) transaksional atau merasa selesai jika sudah
memberikan sesuatu sebagai imbalan dari sesuatu yang diperolehnya.
Begitu
pula akibat dari suasana kehidupan yang makin individualistik dan banyaknya
hal-hal pribadi ynag bersifat rahasia dan berbahaya jika diketahui orang lain,
menyebabkan timbulnya sikap hidup menyendiri dan perasaan terasing serta
terisolir dari sebuah kehidupan. Gejala kehidupan menyendiri (lonely) ini menyebabkan orang tersebut
mencari pelarian kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menyenangkannya dan
mengembalikan keutuhan jiwanya secara sesaat. Kegiatan-kegiatan tersebut
seperti mengunjungi club-club malam, meminum alkohol, berkencencan dengan
pelacur mengonsumsi narkoba dan sebagainya.
Selanjutnya ketika berbagai kegitan tersebut tidak lagi efektif maka ia
mulai stress dan akhirnya menghabiskan sisa umurnya dengan bunuh diri.
Munculnya perasaan hidup yang tidak bermakna, sebagai akibat dari pandangan
hidup yang terlampau menekankan aspek materi yang tidak pernah ada batas
kepuasannya. Manusia yang tidak memiliki pandangan spiritual adalah manusia yang
tidak utuh.
Keadaan
masyarakat yang sudah jauh terpengaruh oleh dampak globalisasi ini tentu sangat
memprihatinkan, terlebih pelaksanaan pendidikan yang cenderung mgutamakan aspek
kogtitif dan meninggalkan aspek afektif dan psikomotorik; pendidikan yang
mengutamakan kecerdasan intelektual ketrampilan dan panca indra dan kurang
memperhatikan berbagai kecerdasan emosianal lainnya. Akibat demikian maka lulusan pendidikan menjadi pincang , terpecah
dan tidak utuh.
Dengan
dilatar belakangi oleh alasan tersebut, maka Ratna Megawangi, sebagai tokoh
wanita muslim Indonesia menggagas Pendidikan Holistik Berbasis karakter yaitu
pendidikan yang bertujuan memeberikan kebebasan siswa didik untuk mengembangkan
diri tidak saja secara Intelektual, tetapi juga memfasilitasi perkembangan jiwa
dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia yang
berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa , mewujudkan manusia yang
m,erdeka sebagaimana yang di ungkapkan Ki Hajar Dewantara, yaitu manusia utuh
merdeka yang hidup lahir batinnya tidak tergantung pada orang lain akan tetapi
bersandar atas kekuatan diri. Ratna mempelopori praktik model Pendidikan
Holistik Berbasis Karakter untuk level Taman Kanak-kanak (TK) yang tersebar di
seluruh Indonesia. Sedangkan untuk tingkat SD, SMP dan SMA masih bersifat
internal dalam lingkup IHF (Indonesia Heritage Foundation) sebuah yayasan yang
di dirikan sebagai central training guru dan program lainnya. Model Pendidikan
ini menerapkan teori-teori sosial, emosi, kognitif, fisik, moral dan spiritual.
Model ini diharapkan dpat memampukan siswa berkembang sebagai individu yang
terintegrasi dengan baik secara spiritual, intelektual, sosial, fisik dan emosi
yang berfikir kritis, kreatif secara mandiri dan bertanggung jawab. Pendidikan
Holistik berbasis Karakter ini bertujuan untuk membangun seluruh dimensi
manusia dengan pendekatan pada pengamalan belajar yang menyenangkan dan
inspiratifuntuk siswa. Guru akan dilengkapi dengan pengetahuan teoritis dan
praktis mengenai pendidikan yang patut dan menyenangkan, pembelajaran ramah
otak, kecerdasan emosi, komunikasi efektif, penerapan pendidikan 9 pilar
karakter secara eksplisit, yaitu knowing, feeling dan acting, kecerdasan
majemuk dan lain – lain.
Ratna
Megawangi berpendapat bahwa solusi untuk kondisi masyarakat Indonesia yang
mengalami dehidrasi moral dan mengalami keterbelakangan peradaban di banding
negara lain yang maju dari aspek pendidikan, ekonomi dan lainnya adalah dengan
meningkatkan pendidikan yang berkualitas melalui pendidikan karakter. Masyarakat
yang memiliki kualitas karakter yang tinggi akan memiliki keinginan yang kuat
untuk meningkatkan kualitas bangsanya.
Ratna
Megawangi, (2007:3) mengatakan : “Perkembangan karakter yang terbaik adalah
pada anak usia dini. Jika kita gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia
dewasa kita akan menjadi orang yang bermasalah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar