SERPIHAN CINTA
(karya:
Rowimah)
“Kekayaan hati adalah
luasnya pengetahuan yang dimiliki secra aplikatif...” kalimat ini terasa
melekat dalam hati dan mengalir melalui sel-sel darah membentuk sebuah motivasi
“aku ga mau gagal dalam meniti
kehidupan” gumamku dalam hati saat teringat bahwa kondisi hubunganku dengan mas
fahmi mengalami konflik internal yang menyangkut keberlangsungan tujuan hidup.
Keberadaan
dia sebenarnya sangat berarti dalam menumbuhkan semangat hidupku yang saat itu
hampir terpuruk oleh problema keluarga. Dia datang memberikan segenggam
kesejukan sebagai penawar dahaga...dia mendampingiku disaat aku terlempar jauh
oleh ketidak adilan yang tercipta dari manusia-manusia yang berkepentingan
pribadi semata. Dia sahabat yang sangat mengerti akan derita dan duka yang
dialamiku...
“Mas fahmi.. dinda mohon
maaf jika belum bisa membalas seluruh kebaikan, semoga Allah senantiasa
melindungi mas dan memberikan rahmat keselamatan dan kebahagiaan...” sms-ku
terakhir yang ku kirim padanya”.
“Dinda marah? Balas mas
fahmi. Karena aku tak menjawab, mas fahmi menelponku, satu kali.. dua..tiga...
sampai sembilan belas kali panggilannya tak ku angkat.
Sejujurnya hatiku sangat
galau untuk menentukan antara panggilan jiwa dan kebutuhan hidup, telpon mas
fahmi yang berulangkali membuat bathinku tak kuasa menahan kasihan, disamping mempertimbangkan panggilan jiwa
untuk membimbingnya mengikuti keyakinanku.
“Mas mau mengikuti agama
dinda, tapi untuk perceraian dengan dia biarkan Allah yang memisahkannya....” kata mas fahmi suatu hari menjelaskan idenya.
“Dinda mau dimadu
ya?”, tanya mas fahmi
“ maaf mas dinda ga bisa”,
jawabku
“Kenapa? Biarkan dia
tetap pada posisinya, yang pasti mas hanya mencintai dinda selamanya” jelas mas
Fahmi lebih lanjut.
“Dinda mohon maaf mas,
karena belum bisa menjadi wanita yang mampu berbagi..” jawabku berargumen.
“Tapi mas ga bisa hidup
tanpa dinda, mau ya dinda dimadu?”, bujuk mas Fahmi.
“Dinda yakin, mas bisa
hidup tanpa dinda, buktinya perkawinan mas sampai sekarang bertahan... “kilahku
“Mas bertahan dengan dia
karena anak, sejak lama mas sudah tidak selaras dan serasi dengan dia, tapi
agama mas tidak memperkenankan perceraian” urai mas fahmi berusaha meyakinkan
aku.
“Tapi dinda ga bisa hidup
tenang kalau mas berpoligami” kataku memberi jawaban
“Ketenangan akan mudah
didapatkan asalkan dinda tidak berfikir negativ terhadap mas, pokoknya believe
sama mas” kata mas fahmi sedikit menekankan pendapatnya.
“Justru itulah yang tidak
bisa dinda lakukan, bagi dinda keutuhan keluarga adalah idaman menuju
kebahagiaan hidup, apalagi anak-anak mas juga akan menjadi tanggung jawab dinda
dalam memperhatikan dan mendidiknya, ga mungkin dinda mampu berkonsentrasi
terhadap keluarga jika bathin dinda senantisa merana”, jawabku sedikit tegang.
“Dinda, mas sangat
mencintaimu, hanya dinda wanita yang mampu membuat mas semangat, hingga
sekarang mas mampu menyelesaikan S.3, Visi hidup kita sama dinda..., maka mas
mohon pengertian dinda untuk mau dimadu. semuanya berproses kita menikah dulu ya..?”
pinta mas Fahmi
“Mas, dinda juga
mencintai mas... mungkin visi hidup kita sama terutama dalam mengedepankan
pendidikan adalah prioritas dalam
kehidupan, namun faktanya diantara kita ada jurang pemisah yang amat terjal. Agama
kita berbeda dan status perkawinan kita berbeda. Apakah mas akan mampu melewati
semua rintangan tersebut? Apakah mas akan berkenan melepaskan atribut agama
yang sekarang melekat dan status
perkawinan mas dengan dia sebagai persyaratan bukti serius terhadap dinda?”,
jawabku memberikan alternatif pemikiran.
“Dinda, mas serius dengan
dinda, mas mau menanggalkan atribut agama mas, tapi tolong.. dinda mau dimadu
ya?”, pinta mas Fahmi
Aku terdiam, hatiku
bingung melihat keseriusan mas Fahmi yang mengharapkan aku untuk mau dimadu. Ya
Allah, apa yang harus hamba lakukan? Mestikah hidupku hanya sebagai istri
keduanya? Mampukah aku melewati semua ranjau dan kerikil-kerikil tajam dalam
mengarungi pernikahan dan memeliharanya? Rasanya hamba sangat pesimisme ya
Allah..jika menjalani kehidupan rumah tangga yang tidak utuh. Namun bagaimanakah
nasib mas Fahmi? Dan berdosakah hamba jika mas Fahmi kembali kepada keyakinan
agamanya, gara-gara hamba tinggalkan?
“Dinda, berkenankah
menjadi istri mas?”, mas Fahmi bertanya padaku
“jika dinda berkenan, mas
akan segera melamar ke orangtua dinda” lanjut mas Fahmi
“Beri dinda waktu
berfikir ya mas”, jawabku
Ya Allah berat sekali
rasanya masalah ini, aku sangat takut menyakiti perasaannya, jika aku tak
menerima niat baiknya untuk menjadikan aku istri, disamping aku juga terlanjur
mencintainya. Namun perbedaan diantara mas Fahmi dan aku terlalu banyak,
terutama perbedaan status perkawinan, mungkinkah mas Fahmi mampu menjadi imamku
kelak secara adil? Sementara basic perbedaan agama menjadikan aku harus mampu
berbuat lebih baik karena harus membimbingnya agar menjadi muallaf yang kuat
pondasi.. dan mukmin kamilan. Disisi lain batinku tidak pernah bisa berkompromi
dengan poligami.
“Mas ...dengan segala
kerendahan hati dinda haturkan permohonan maaf yang seagung-agungnya, karena
kita harus membuat pilihan...bagi dinda mas sangat berharga apalagi mas juga
dosen dinda, namun masalah nikah atau berkeluarga bagi dinda adalah sangat
sakral, sangat suci. Maka dengan maksud positif, dinda mohon perkenan
memberikan pilihan paket yang harus mas pilih sebagai jalan keluar masalah
hubungan kita. Pilihan ini berkonsekuensi yang sangat berat tidak saja bagi mas
tapi juga bagi dinda” kataku pada mas Fahmi
“Pilihan apa dinda?”
tanya mas Fahmi
“Mas silahkan pilih dinda
atau dia, konsekuensinya, jika pilih dinda berarti mas wajib berganti agama dan
menanggalkan status perkawinan dengan dia. Jika mas pilih dia, mas tinggalkan
dinda dan hubungan kita cukup sampai disini..” aku menjelaskan tentang pilihan
tersebut.
Jantungku
berdegup kencang menanti jawaban mas Fahmi, siapakah wanita istimewa yang mas
Fahmi pilih? Aku atau diakah?
“Mas
pilih dinda, tapi biarkan perceraian menjadi kewenangan Allah” jawab mas Fahmi
“Tapi
mas maaf, kita sepakat pilihan tersebut sepaket, termasuk dengan semua
konsekuensinya” tegasku pada mas Fahmi
“Dinda
mohon jangan egoisme , izinkan
mengertiin mas, semuanya perlu proses” lanjut mas Fahmi
Aku
terdiam karena sangat kaget ketika mas Fahmi memberikan predikat padaku
“egois”, padahal semua tersebut ku lakukan karena untuk kebaikan bersama.
Setiap
hari mas Fahmi menghubungiku. Setiap telponnya tidak pernah aku angkat, hanya
satu kali aku balas sms-nya : “ Dinda cape mas dengan semua kondisi mas yang
tampaknya tidak serius untuk pindah agama dan berpisah dengan dia, jika saja
dia mau mengikuti mas untuk pindah agama, mungkin tentang poligami tersebut
akan dinda pertimbangkan, tapi sayangnya masalah kita tidak demikian” ungkapku
di sms menjelang akhir sms-an dengan mas Fahmi.
Setelah
pembicaraan tersebut, aku diam tidak merespon sms maupun telponnya. Biarlah
agar mas Fahmi berfikir apakah
tetap akan memilihku atau akan
kembali kepadanya? Bagiku memilih mas Fahmi karena ingin hidupku berguna. Aku
masuk dalam kehidupan mas Fahmi, karena kondisi rumah tangganya yang sudah lama
diujung tanduk kehancuran, itu yang mas Fahmi sampaikan saat mulai dekat
denganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar