Kamis, 10 Desember 2015

MENGELOLA EMOSI POSITIF MELALUI SENI MENULIS CERITA PENDEK



SERPIHAN  CINTA
(karya: Rowimah)

“Kekayaan hati adalah luasnya pengetahuan yang dimiliki secra aplikatif...” kalimat ini terasa melekat dalam hati dan mengalir melalui sel-sel darah membentuk sebuah motivasi
“aku ga mau gagal dalam meniti kehidupan” gumamku dalam hati saat teringat bahwa kondisi hubunganku dengan mas fahmi mengalami konflik internal yang menyangkut keberlangsungan tujuan hidup.
            Keberadaan dia sebenarnya sangat berarti dalam menumbuhkan semangat hidupku yang saat itu hampir terpuruk oleh problema keluarga. Dia datang memberikan segenggam kesejukan sebagai penawar dahaga...dia mendampingiku disaat aku terlempar jauh oleh ketidak adilan yang tercipta dari manusia-manusia yang berkepentingan pribadi semata. Dia sahabat yang sangat mengerti akan derita dan duka yang dialamiku...
“Mas fahmi.. dinda mohon maaf jika belum bisa membalas seluruh kebaikan, semoga Allah senantiasa melindungi mas dan memberikan rahmat keselamatan dan kebahagiaan...” sms-ku terakhir yang ku kirim padanya”.
“Dinda marah? Balas mas fahmi. Karena aku tak menjawab, mas fahmi menelponku, satu kali.. dua..tiga... sampai sembilan belas kali panggilannya tak ku angkat.
Sejujurnya hatiku sangat galau untuk menentukan antara panggilan jiwa dan kebutuhan hidup, telpon mas fahmi yang berulangkali membuat bathinku tak kuasa menahan kasihan,  disamping mempertimbangkan panggilan jiwa untuk membimbingnya mengikuti keyakinanku.
“Mas mau mengikuti agama dinda, tapi untuk perceraian dengan dia biarkan Allah yang memisahkannya....”  kata mas fahmi suatu hari menjelaskan idenya.
“Dinda mau dimadu ya?”,  tanya mas fahmi
“ maaf mas dinda ga bisa”, jawabku
“Kenapa? Biarkan dia tetap pada posisinya, yang pasti mas hanya mencintai dinda selamanya” jelas mas Fahmi lebih lanjut.
“Dinda mohon maaf mas, karena belum bisa menjadi wanita yang mampu berbagi..” jawabku berargumen.
“Tapi mas ga bisa hidup tanpa dinda, mau ya dinda dimadu?”, bujuk mas Fahmi.
“Dinda yakin, mas bisa hidup tanpa dinda, buktinya perkawinan mas sampai sekarang bertahan... “kilahku
“Mas bertahan dengan dia karena anak, sejak lama mas sudah tidak selaras dan serasi dengan dia, tapi agama mas tidak memperkenankan perceraian” urai mas fahmi berusaha meyakinkan aku.
“Tapi dinda ga bisa hidup tenang kalau mas berpoligami” kataku memberi jawaban
“Ketenangan akan mudah didapatkan asalkan dinda tidak berfikir negativ terhadap mas, pokoknya believe sama mas” kata mas fahmi sedikit menekankan pendapatnya.
“Justru itulah yang tidak bisa dinda lakukan, bagi dinda keutuhan keluarga adalah idaman menuju kebahagiaan hidup, apalagi anak-anak mas juga akan menjadi tanggung jawab dinda dalam memperhatikan dan mendidiknya, ga mungkin dinda mampu berkonsentrasi terhadap keluarga jika bathin dinda senantisa merana”, jawabku sedikit tegang.
“Dinda, mas sangat mencintaimu, hanya dinda wanita yang mampu membuat mas semangat, hingga sekarang mas mampu menyelesaikan S.3, Visi hidup kita sama dinda..., maka mas mohon pengertian dinda untuk mau dimadu. semuanya berproses kita menikah dulu ya..?” pinta mas Fahmi
“Mas, dinda juga mencintai mas... mungkin visi hidup kita sama terutama dalam mengedepankan pendidikan adalah prioritas  dalam kehidupan, namun faktanya diantara kita ada jurang pemisah yang amat terjal. Agama kita berbeda dan status perkawinan kita berbeda. Apakah mas akan mampu melewati semua rintangan tersebut? Apakah mas akan berkenan melepaskan atribut agama yang sekarang  melekat dan status perkawinan mas dengan dia sebagai persyaratan bukti serius terhadap dinda?”, jawabku memberikan alternatif pemikiran.
“Dinda, mas serius dengan dinda, mas mau menanggalkan atribut agama mas, tapi tolong.. dinda mau dimadu ya?”, pinta mas Fahmi
Aku terdiam, hatiku bingung melihat keseriusan mas Fahmi yang mengharapkan aku untuk mau dimadu. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Mestikah hidupku hanya sebagai istri keduanya? Mampukah aku melewati semua ranjau dan kerikil-kerikil tajam dalam mengarungi pernikahan dan memeliharanya? Rasanya hamba sangat pesimisme ya Allah..jika menjalani kehidupan rumah tangga yang tidak utuh. Namun bagaimanakah nasib mas Fahmi? Dan berdosakah hamba jika mas Fahmi kembali kepada keyakinan agamanya, gara-gara hamba tinggalkan?
“Dinda, berkenankah menjadi istri mas?”, mas Fahmi bertanya padaku
“jika dinda berkenan, mas akan segera melamar ke orangtua dinda” lanjut mas Fahmi
“Beri dinda waktu berfikir ya mas”, jawabku
Ya Allah berat sekali rasanya masalah ini, aku sangat takut menyakiti perasaannya, jika aku tak menerima niat baiknya untuk menjadikan aku istri, disamping aku juga terlanjur mencintainya. Namun perbedaan diantara mas Fahmi dan aku terlalu banyak, terutama perbedaan status perkawinan, mungkinkah mas Fahmi mampu menjadi imamku kelak secara adil? Sementara basic perbedaan agama menjadikan aku harus mampu berbuat lebih baik karena harus membimbingnya agar menjadi muallaf yang kuat pondasi.. dan mukmin kamilan. Disisi lain batinku tidak pernah bisa berkompromi dengan poligami.
“Mas ...dengan segala kerendahan hati dinda haturkan permohonan maaf yang seagung-agungnya, karena kita harus membuat pilihan...bagi dinda mas sangat berharga apalagi mas juga dosen dinda, namun masalah nikah atau berkeluarga bagi dinda adalah sangat sakral, sangat suci. Maka dengan maksud positif, dinda mohon perkenan memberikan pilihan paket yang harus mas pilih sebagai jalan keluar masalah hubungan kita. Pilihan ini berkonsekuensi yang sangat berat tidak saja bagi mas tapi juga bagi dinda” kataku pada mas Fahmi
“Pilihan apa dinda?” tanya mas Fahmi
“Mas silahkan pilih dinda atau dia, konsekuensinya, jika pilih dinda berarti mas wajib berganti agama dan menanggalkan status perkawinan dengan dia. Jika mas pilih dia, mas tinggalkan dinda dan hubungan kita cukup sampai disini..” aku menjelaskan tentang pilihan tersebut.
            Jantungku berdegup kencang menanti jawaban mas Fahmi, siapakah wanita istimewa yang mas Fahmi pilih? Aku atau diakah?
            “Mas pilih dinda, tapi biarkan perceraian menjadi kewenangan Allah” jawab mas Fahmi
            “Tapi mas maaf, kita sepakat pilihan tersebut sepaket, termasuk dengan semua konsekuensinya” tegasku pada mas Fahmi
            “Dinda mohon  jangan egoisme , izinkan mengertiin mas, semuanya perlu proses” lanjut mas Fahmi
            Aku terdiam karena sangat kaget ketika mas Fahmi memberikan predikat padaku “egois”, padahal semua tersebut ku lakukan karena untuk kebaikan bersama.
            Setiap hari mas Fahmi menghubungiku. Setiap telponnya tidak pernah aku angkat, hanya satu kali aku balas sms-nya : “ Dinda cape mas dengan semua kondisi mas yang tampaknya tidak serius untuk pindah agama dan berpisah dengan dia, jika saja dia mau mengikuti mas untuk pindah agama, mungkin tentang poligami tersebut akan dinda pertimbangkan, tapi sayangnya masalah kita tidak demikian” ungkapku di sms menjelang akhir sms-an dengan mas Fahmi.
            Setelah pembicaraan tersebut, aku diam tidak merespon sms maupun telponnya. Biarlah agar mas Fahmi berfikir apakah  tetap  akan memilihku atau akan kembali kepadanya? Bagiku memilih mas Fahmi karena ingin hidupku berguna. Aku masuk dalam kehidupan mas Fahmi, karena kondisi rumah tangganya yang sudah lama diujung tanduk kehancuran, itu yang mas Fahmi sampaikan saat mulai dekat denganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar