Selasa, 08 Desember 2015

TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM KEBERAGAMAN BERAGAMA



BAB  I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Manusia adalah makhluk indiviudu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya salah satunya adalah perbedaan agama.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling menjaga hak dan kewajiban diantara mereka antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Olehnya itu kita sebagai warga Negara sudah sepatutnya menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi keutuhan Negara.
Kebebasan beragama pada hakikatnya adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya.
Demikian juga sebaliknya, toleransi antar umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat diabaikan. Namun yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, misalnya penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha untuk merukunkan dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat. 
 
BAB    II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Toleransi
Toleransi dalam bahasa Arab disebut “tasamuh” artinya bermurah hati, yaitu bermurah hati dalam pergaulan. Kata lain dari tasamuh ialah “tasahul” yang berarti bermudah-mudah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” berarti bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
WJS. Poerwadarminta mengartikan toleransi dengan kelapangan dada, dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan keyakinan orang lain”.
Dari keterangan di atas, dapat dipahami bahwa toleransi mengajarkan, hendaknya kita mempunyai sifat-sifat lapang dada, berjiwa besar, luas pemahaman, pandai menahan diri, tidak memaksakan kehendak sendiri, memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berpendapat sekalipun berbeda dengan pendapat kita. Kesemuanya itu adalah dalam rangka menciptakan kerukunan hidup beragama dalam masyarakat.
Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukkan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretisme yang dilarang oleh Islam. Sinkretisme adalah membenarkan semua agama.
Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” yang berasal dari bahasa latin yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.
B.                 Toleransi Dalam Perspektif Agama Islam.
Toleransi juga diajarkan dalam Agama Islam, bahkan dalam Islam termasuk ajaran yang sangat prinsip. Hal ini dapat dipahami dari Misi Agama Islam itu sendiri, yang mana Islam itu sendiri bermakna damai, yaitu damai dengan sesama manusia dan malah dengan makhluk lainnya. Dengan demikian ajaran toleransi, sudah terkandung dalam penamaan Islam itu sendiri.
Berlaku baik dengan sesama manusia memang sangat dianjurkan Islam. Begitu pula halnya dalam menyebarkan agama. Islam jauh-jauh sudah mengingat¬kan agar jangan memaksakan keyakinan/agamanya kepada orang lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 256.
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Adapun yang dimaksud Thaghut dalam ayat di atas ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT. Menurut riwayat Ibnu Abbas, asbabun nuzul ayat di atas berkenaan dengan Hushain dari golongan Anshar, suku Bani Salim yang mempunyai dua orang anak yang beragama Nasrani, sedang dia sendiri beragama Islam. Ia bertanya kepada Nabi saw: Bolehkah saya paksa kedua anak itu, karena mereka tidak taat padaku dan tetap ingin beragama Nasrani. Allah menjelaskan jawabannya dengan ayat di atas, bahwa tidak ada paksaan dalam Islam".
Islam sangat menghargai eksistensi agama lain dan begitu pula dengan penganutnya. Dalam sejarah Islam tidak pernah memaksakan keyakinannya ke-pada orang lain. Pemaksaan dalam bentuk apapun agar orang lain beriman sesuai dengan agama yang memaksa adalah tindakan tidak etis dan bertentangan dengan kemauan atau kehendak Allah. Ada beberapa ayat yang dapat menuntun umat Islam untuk mengembangkan konsep kerukunan antara sesama umat manusia. Misalnya Qur'an Surat Ali Imran ayat 103: Artinya “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Selain penjelasan dari Al-Qur’an masalah toleransi juga ditemui dalam hadits. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku nabi sehari-hari dalam bergaul dengan pemeluk agama lain. Di antara contoh perbuatan nabi yang berkaitan dengan toleransi, misalnya pada suatu ketika datang menghadap beliau di Madinah beberapa orang delegasi Kristen dari Najran yang diketuai seorang pendeta besar. Delegasi itu beliau sambut dengan cara yang sangat hormat. Beliau buka Jubahnya dan dibentangkan di lantai untuk tempat duduk para tamunya itu, sehingga mereka kagum terhadap penerimaan yang luar biasa sopannya. Kemudian ketika datang waktu sembahyang mereka, sedang gereja tidak ada di Madinah, maka Nabi mempersilahkan mereka sembahyang di Masjid Madinah menurut cara sembahyang mereka. Dengan demikian semakin jelaslah ajaran kerukunan dalam Islam, dan ajaran tersebut pada dasarnya bersumber dari Al-Quran dan sunnah Rasul.
Begitu komprehensifnya ajaran Islam sehingga bagaimana membina hubungan yang harmonis antara sesama manusia sehingga terjadi ketertiban dalam kancah kehidupan ini.
C.                 Toleransi Antarumat Beragama
Sebagai makhluk sosial manusia tentunya harus hidup sebuah masyarakat yang kompleks akan nilai karena terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Untuk menjaga persatuan antar umat beragama maka diperlukan sikap toleransi.
Toleransi sendiri terbagi atas tiga yaitu :
a.      Negatif
Isi ajaran dan penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan penganutnya hanya dibiarkan saja karena menguntungkan dalam keadaan terpaksa.Contoh PKI atau orang-orang yang beraliran komunis di Indonesia pada zaman Indonesia baru merdeka.
 b.      Positif
Isi ajaran ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai.Contoh Anda beragama Islam wajib hukumnya menolak ajaran agama lain didasari oleh keyakinan pada ajaran agama Anda, tetapi penganutnya atau manusianya Anda hargai.
 c.       Ekumenis
Isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsur-unsur kebenaran yang berguna untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri.Contoh Anda dengan teman Anda sama-sama beragama Islam atau Kristen tetapi berbeda aliran atau paham. Dalam kehidupan beragama sikap toleransi ini sangatlah dibutuhkan, karena dengan sikap toleransi ini kehidupan antar umat beragama dapat tetap berlangsung dengan tetap saling menghargai dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing.
Mengingat pentingnya toleransi, maka ia harus diajarkan kepada anak-anak baik dilingkungan formal maupun lingkungan informal. Di lingkungan formal contohnya siswa dapat dibekali tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama melalui bidang studi Agama, Kewarganegaraan, ataupun melalui aspek pengembangan diri seperti Pramuka, PMR, OSIS, dll. Hal yang sama dapat juga dilakukan di lingkungan informal oleh orang tua kepada anak-anaknya melalui pengajaran nilai-nilai yang diajarkan sedini mungkin di rumah.
D.                Toleransi Perspektif  Undang-Undang di Indonesia
Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari beragam suku dan agama, dengan adanya sikap toleransi dan sikap menjaga hak dan kewajiban antar umat beragama, diharapkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sara tidak muncul kepermukaan. Dalam kehidupan masyarakat sikap toleransi ini harus tetap dibina, jangan sampai bangsa Indonesia terpecah antara satu sama lain
Toleransi Hak dan kewajiban dalam umat beragama telah tertanam dalam nilai-nilai yang ada pada pancasila. Indonesia adalah Negara majemuk yang terdiri dari berbagai macam etnis dan agama, tanpa adanya sikap saling menghormati antara hak dan kewajiban maka akan dapat muncul berbagai macam gesekan-gesekan antar umat beragama.
Pemeluk agama mayoritas wajib menghargai ajaran dan keyakinan pemeluk agama lain, karena dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 dikatakan bahwa “setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.” Hal ini berarti kita tidak boleh memaksakan kehendak, terutama dalam hal kepercayaan, kepada penganut agama lain, termasuk mengejek ajaran dan cara peribadatan mereka.
E.     Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam pandangan Islam
1.      Menghindari Perpecahan
Dengan belajar dan melakukan Toleransi Beragama maka kita  juga belajar bagaimana agar bangsa besar kita ini indonesia dapat bertahan lama. Negara kita terbukti sangat peka terhadap isu keagamaan oleh karena itu jika tidak bisa menjaga hubungan baik antara agama. Bahaya besar telah menanti bangsa ini.
2.      Mempererat Hubungan
Dengan toleransi beragama tidak hanya dapat menghindarkan kita dari sebuah perpecahan tapi juga dapat membuat kita lebih solid dalam hubungan kemasyarakatan. Dapat juga bertukar pikiran (bukan berdebat tentang agama yang lebih baik) agar dari hari kehari kehidupan ala multiagama di negara ini menjadi sesuatu yang biasa dan tidak menjadi alasan terjadi pertikaian anatara umat beragama.
3.      Mengokohkan Iman
Semua agama mangajarkan hal yang baik bagaimana  mngatur hubungan dengan masyarakat yang beragama lain. Wujud nyata tingkah laku toleransi akan menunjukkan perwujudan iman keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
F.      Faktor-Faktor yang mempengaruhi Intoleransi Beragama
1.      Sesat Pikir Terhadap The Others
Pertama, suburnya intoleransi disebabkan oleh masih kukuhnya mindset sesat pikir terhadap ‘the others’ dalam kehidupan keberagamaan kita. ‘The Others” atau ‘yang lain’ lebih sering dilihat sebagai musuh yang harus disingkirkan, daripada sebuah realitas yang harus dirawat.
Celakanya, kalau mau jujur, sesat pikir terhadap yang lain (the others) bukan hanya monopoli tunggal satu agama mainstream mayoritas saja, sebut saja Islam, sebagaimana asumsi banyak kalangan selama ini. Mereka yang minoritaspun berpotensi berperilaku sesat pikir terhadap ‘the others’.
Bahkan mindset tersebut tampaknya telah menjadi watak ‘abadi’ dari semua agama/sekte mainstream. Seperti nafsu birahi, mindset ini bisa menyergap agama dan keyakinan apa saja. Ia sering kali muncul persis ketika agama mainstream menemukan ruang dan kesempatan menunjukkan dominasi atau mayoritasnya.
Niat mulia penganut Parmalim mendirikan ruma parsaktian (rumah ibadah) di tanahnya sendiri dan dihalangi bukan oleh oleh umat mayoritas Islam, tetapi justru oleh penganut Kristen (warga gereja HKBP) yang juga minoritas dan sering ‘merasa’ menjadi korban diskriminasi oleh agama mainstream lainnya, menjelaskan hal tersebut. Dalam bentuk lain mindset sesat pikir terhadap the others yang lebih massif bisa kita temukan dalam persaingan dan konflik antar aliran/sekte dalam lingkungan internal satu agama/keyakinan.
Kedua, intoleransi dipicu oleh masih menguatnya mentalitas split tolerance (penyimpangan toleransi) dalam masyarakat kita. Di satu sisi umat beragama sulit membangun toleransi antara umat beragama dan keyakinan yang sejatinya merupakan pesan kuat agama/keyakinan (sufi), namun di sisi lain umat tampaknya begitu toleran dengan praktik-praktik korupsi dan manipulasi yang ada di sekitarnya yang bersifat profan.Dalam perspektif sosiologi politik, split tolerance ini merupakan warisan dari masyarakat yang sedemikian lama hidup dalam politik hipokrisi dan politik konservatif yang mengandalkan pendekatan toleransi permisif, daripada politik substansial yang mengandalkan pendekatan toleransi kritis.
2.      Politisasi Agama Gaya Baru
Praktik intoleransi beragama dalam bentuk kekerasan (atas nama) agama merupakan implikasi dari warisan politisasi agama orde baru yang belum sepenuhnya sirna. Intoleransi beragama merupakan buah dari politisasi negara terhadap agama lewat penciptaan label ‘agama resmi’ (mainstream) dan ‘agama tidak resmi’ (agama rakyat) yang nyatanya terus berlangsung hingga kini.
Di masa lalu, politisasi agama dilakukan negara, berselingkuh dengan agama mainstream, secara langsung dengan melakukan politik koersif, mem-bredel aliran, sekte, dan bahkan buku-buku?’sesat’, atas alasan bahwa yang dilarang tersebut illegal.
Sekarang politisasi agama dilakukan dengan gaya baru dalam bentuk yang lebih soft. Negara tidak lagi betindak keras secara langsung terhadap agama atau keyakinan lain yang non mainstream. Politisasi agama sekarang diperankan oleh politik sekelompok massa yang menjadi ‘Hakim’ atas agama dan keyakinan yang berkembang di masyarakat. Sekelompok massa menggantikan negara melakukan tindak kekerasan Ironisnya, bukan melindungi dan mencegah, negara justru ‘membiarkan’ praktik kekerasan oleh sekelompok massa tersebut. Malah negara terkesan membiarkan konflik yang muncul hingga berlarut-larut.
Lebih jauh lagi, politisasi agama juga bisa dilihat dari sikap pemerintah yang diskriminatif dalam merespon isu-isu agama. Pemerintahan SBY garang terhadap pendeta ngawur Terry Jones yang berencana membakar kitab suci Alquran di Texas Amerika namun loyo bersikap terhadap aksi sekelompok massa yang melakukan tindak kekerasan sebagaimana terjadi terhadap warga Ahmadiya dan jemaat HKBP di Ciketing
3.      Empirisme Beragama
Suburnya intoleransi beragama bisa dibaca sebagai implikasi dari masih minimnya praktik beragama (empirisme beragama). Para penganut agama masih terjebak dengan praktik beragama dogmatik sehingga mereka tidak makin cerdas memaknai semantika keagamaan, khususnya mengenai teks-teks suci yang ada.
Kebenaran masih dimaknai sekadar teks dan melupakan konteks. Hasilnya praktik keberagamaan menjadi serba kaku. Semuanya diukur dari teks yang ada. Kebenaranpun menjadi serba tekstual dan tunggal. Begitu teks kebenarannya diciderai oleh agama atau kepercayaan lain, apalagi ‘agama baru’, maka tuduhan penghinaan dan penodaan agama serta merta akan menjadi palu godam menghakimi kepercayaan ‘baru’ tersebut.
Begitu kuatnya teks agama mendominasi sistem keberagamaan kita mengakibatkan konteks (bahwa manusia itu plural dan agama berbeda menjalankan keyakinannya) nyaris tidak mendapatkan tempat. Teks dibela habis-habisan lewat berbagai cara mengingkari agama sendiri yang sejak awal memberi pesan kuat terhadap konteks (keberagaman).
Dominasi pada teks atau doktrin ajaran agama (ortodoksi) membuat keberagamaan kita timpang karena mengabaikan pengalaman beragama (ortopietas) dan?praksis beragama (ortopraksis).?Padahal empirisme keberagamaan, yang ditopang ortopietas dan ortopraksis, sangatlah penting untuk menopang toleransi dalam keberagaman. Sebab, dalam banyak hal, sejrah mencatat bahwa toleransi di republik ini justru tumbuh berbasis pada empirisme beragama yakni praktik relasi sesama manusia, bukan pada teks-teks suci agama (ortodoksi).


G.    Desain Toleransi Beragama
Toleransi atau kemerdekaan beragama dan berkeyakinan hanya bisa tumbuh bila dua prasyarat mendasar terpenuhi. Pertama, negara (baca; pemerintah) yang merdeka hadir di republik ini. Negara merdeka yang dimaksud tentu saja bukan sekedar pemerintahan yang terpilih secara demokrasi (prosedural).
Negara merdeka yang dimaksud adalah pemerintahan yang otonom untuk memerdekakan public sphere sedemikian rupa sehingga dapat digunakan semua penganut agama (baca: keyakinan) secara bebas dan damai.?
Dalam konteks itu negara berperan dan berwenang mengelola ‘keteraturan beragama’, tetapi tidak berwenang mengelola ‘pengaturan beragama’. Prinsipnya, semua keyakinan agama (baik ‘resmi’ maupun ‘tidak resmi’, baik ‘lama’ maupun ‘baru’) harus diberi kebebasan untuk hidup beribadah, dan mendirikan tempat ibadah sebagai manifestasi hak asasi manusia yang paling mendasar.
Dan yang paling penting, ketika kekerasan (atas nama) agama muncul, di sana negara harus hadir menghentikan kekerasan dan melindungi korban kekerasan, sebagai bukti konkretisasi konstitusi negara.
Kedua, kehidupan keberagamaan kita semakin mampu mengintegrasikan antara teks dan konteks. Pada titik ini keberagamaan tidak cukup dengan hanya mengandalkan dialog lintas agama dan perspektif pluralisme lagi. Kehidupan beragama harus tiba pada kesadaran baru yang memerdekakan yang disebut dengan pasca-pluralisme (Mark Heim, Salvation, 1995). Yakni kesadaran?bahwa ‘banyak agama (baca:keyakinan) yang benar?dan masing-masing adalah satu-satunya jalan’. Masing-masing keyakinan itu harus diakui benar dalam perspektif satu sama lain. Dengan demikian kebenaran tidak bersifat singular apalagi tunggal, namun plural. Di sanalah toleransi sejati bisa diretas.
Upaya memaksakan konsep penyatu, dengan menggabungkan konsep partikular masing-masing keyakinan (termasuk mendorong negara menjadi penafsir tunggal terhadap sesat tidaknya sebuah agama dan keyakinan), adalah perilaku primitif dalam memandang keberagamaan dan berpotensi melanggengkan lumpur dosa praktik intoleran dan kekerasan (atas nama) agama.
Kita berharap tahun subur praktik intoleransi 2010 tidak berlanjut ke tahun 2011. Kita justru berharap tahun 2011 menjadi tahun rahmat yang memberi harapan baru bagi tumbuhnya toleransi di republik ini. Itu hanya mungkin bila pemerintah introspeksi diri dan semakin mengacu kepada konstitusi untuk menyelenggarakan negara.
Konstitusi harus menjadi ‘kitab suci’ penyelenggaraan negara. Penyelenggara negara harus menjadikan konstitusi sebagai rujukan asas dan moral dalam membuat kebijakan. Oleh karenanya konstitusi tidak bisa dibaca sekedar sebuah buku atau dokumen. Konstitusi harus dibaca, meminjam Ronald Dworkin, sebagai sebuah moral reading (bacaan moral). Di lain pihak, umat beragama tentu saja harus berbenah meninggalkan mentalitas split tolerance.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar