BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk indiviudu
sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia
dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain dalam rangka memenuhi
kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang
individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda warna dengannya
salah satunya adalah perbedaan agama.
Dalam menjalani kehidupan sosialnya
tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi antar
kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan ras maupun agama. Dalam rangka
menjaga keutuhan dan persatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling
menghormati dan saling menghargai, sehingga gesekan-gesekan yang dapat
menimbulkan pertikaian dapat dihindari. Masyarakat juga dituntut untuk saling
menjaga hak dan kewajiban diantara mereka antara yang satu dengan yang lainnya.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29
ayat 2 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.” Olehnya itu kita sebagai warga Negara sudah sepatutnya
menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama dan saling
menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi keutuhan
Negara.
Kebebasan beragama pada hakikatnya
adalah dasar bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama. Tanpa kebebasan
beragama tidak mungkin ada kerukunan antar umat beragama. Kebebasan beragama
adalah hak setiap manusia. Hak untuk menyembah Tuhan diberikan oleh Tuhan, dan
tidak ada seorang pun yang boleh mencabutnya.
Demikian juga sebaliknya, toleransi
antar umat beragama adalah cara agar kebebasan beragama dapat
terlindungi dengan baik. Kebebasan dan toleransi tidak dapat diabaikan. Namun
yang sering kali terjadi adalah penekanan dari salah satunya, misalnya
penekanan kebebasan yang mengabaikan toleransi dan usaha untuk merukunkan
dengan memaksakan toleransi dengan membelenggu kebebasan. Untuk dapat
mempersandingkan keduanya, pemahaman yang benar mengenai kebebasan beragama dan
toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari
dalam bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Toleransi
Toleransi
dalam bahasa Arab disebut “tasamuh” artinya bermurah hati, yaitu bermurah hati
dalam pergaulan. Kata lain dari tasamuh ialah “tasahul” yang berarti
bermudah-mudah.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran”
berarti bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang
berbeda atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
WJS. Poerwadarminta mengartikan toleransi dengan kelapangan dada, dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan keyakinan orang lain”.
WJS. Poerwadarminta mengartikan toleransi dengan kelapangan dada, dalam arti suka rukun kepada siapapun, membiarkan orang lain berpendapat atau berpendirian lain, tak mau mengganggu kebebasan berpikir dan keyakinan orang lain”.
Dari
keterangan di atas, dapat dipahami bahwa toleransi mengajarkan, hendaknya kita
mempunyai sifat-sifat lapang dada, berjiwa besar, luas pemahaman, pandai
menahan diri, tidak memaksakan kehendak sendiri, memberikan kesempatan kepada
orang lain untuk berpendapat sekalipun berbeda dengan pendapat kita. Kesemuanya
itu adalah dalam rangka menciptakan kerukunan hidup beragama dalam masyarakat.
Jadi
toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati
keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Kesalahan memahami
arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukkan
antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan
seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah
toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretisme yang dilarang oleh Islam. Sinkretisme
adalah membenarkan semua agama.
Toleransi
berasal dari kata “ Tolerare ” yang berasal dari bahasa latin yang berarti
dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas adalah
suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana
seseorang menghargai atau menghormati setiap tindakan yang orang lain lakukan.
Toleransi juga dapat dikatakan istilah dalam konteks sosial budaya dan agama
yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap
kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam
suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas
dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Hingga saat
ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik
dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama
berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan,
untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain.
Dalam
masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama
menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling
menghargai. Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina
kerukunan hidup.
B.
Toleransi Dalam Perspektif
Agama Islam.
Toleransi
juga diajarkan dalam Agama Islam, bahkan dalam Islam termasuk ajaran yang
sangat prinsip. Hal ini dapat dipahami dari Misi Agama Islam itu sendiri, yang
mana Islam itu sendiri bermakna damai, yaitu damai dengan sesama manusia dan
malah dengan makhluk lainnya. Dengan demikian ajaran toleransi, sudah
terkandung dalam penamaan Islam itu sendiri.
Berlaku baik dengan sesama manusia memang sangat dianjurkan Islam. Begitu pula halnya dalam menyebarkan agama. Islam jauh-jauh sudah mengingat¬kan agar jangan memaksakan keyakinan/agamanya kepada orang lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 256.
Berlaku baik dengan sesama manusia memang sangat dianjurkan Islam. Begitu pula halnya dalam menyebarkan agama. Islam jauh-jauh sudah mengingat¬kan agar jangan memaksakan keyakinan/agamanya kepada orang lain, sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 256.
Artinya:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
Adapun
yang dimaksud Thaghut dalam ayat di atas ialah syaitan dan apa saja yang disembah
selain dari Allah SWT. Menurut riwayat Ibnu Abbas, asbabun nuzul ayat di atas
berkenaan dengan Hushain dari golongan Anshar, suku Bani Salim yang mempunyai
dua orang anak yang beragama Nasrani, sedang dia sendiri beragama Islam. Ia
bertanya kepada Nabi saw: Bolehkah saya paksa kedua anak itu, karena mereka
tidak taat padaku dan tetap ingin beragama Nasrani. Allah menjelaskan
jawabannya dengan ayat di atas, bahwa tidak ada paksaan dalam Islam".
Islam
sangat menghargai eksistensi agama lain dan begitu pula dengan penganutnya.
Dalam sejarah Islam tidak pernah memaksakan keyakinannya ke-pada orang lain. Pemaksaan
dalam bentuk apapun agar orang lain beriman sesuai dengan agama yang memaksa
adalah tindakan tidak etis dan bertentangan dengan kemauan atau kehendak Allah.
Ada beberapa ayat yang dapat menuntun umat Islam untuk mengembangkan konsep
kerukunan antara sesama umat manusia. Misalnya Qur'an Surat Ali Imran ayat 103:
Artinya “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.”
Selain
penjelasan dari Al-Qur’an
masalah toleransi juga ditemui dalam hadits. Hal ini dapat dilihat dalam
perilaku nabi sehari-hari dalam bergaul dengan pemeluk agama lain. Di antara
contoh perbuatan nabi yang berkaitan dengan toleransi, misalnya pada suatu
ketika datang menghadap beliau di Madinah beberapa orang delegasi Kristen dari
Najran yang diketuai seorang pendeta besar. Delegasi itu beliau sambut dengan
cara yang sangat hormat. Beliau buka Jubahnya dan dibentangkan di lantai untuk
tempat duduk para tamunya itu, sehingga mereka kagum terhadap penerimaan yang
luar biasa sopannya. Kemudian ketika datang waktu sembahyang mereka, sedang
gereja tidak ada di Madinah, maka Nabi mempersilahkan mereka sembahyang di
Masjid Madinah menurut cara sembahyang mereka. Dengan demikian semakin jelaslah
ajaran kerukunan dalam Islam, dan ajaran tersebut pada dasarnya bersumber dari Al-Quran
dan sunnah Rasul.
Begitu
komprehensifnya ajaran Islam sehingga bagaimana membina hubungan yang harmonis
antara sesama manusia sehingga terjadi ketertiban dalam kancah kehidupan ini.
C.
Toleransi Antarumat Beragama
Sebagai makhluk sosial manusia tentunya harus hidup sebuah
masyarakat yang kompleks akan nilai karena terdiri dari berbagai macam suku dan
agama. Untuk menjaga persatuan antar umat beragama maka diperlukan sikap
toleransi.
Toleransi
sendiri terbagi atas tiga yaitu :
a. Negatif
Isi ajaran dan penganutnya tidak dihargai. Isi ajaran dan
penganutnya hanya dibiarkan saja karena menguntungkan dalam keadaan
terpaksa.Contoh PKI atau orang-orang yang beraliran komunis di Indonesia pada
zaman Indonesia baru merdeka.
b. Positif
Isi ajaran ditolak, tetapi penganutnya diterima serta
dihargai.Contoh Anda beragama Islam wajib hukumnya menolak ajaran agama lain
didasari oleh keyakinan pada ajaran agama Anda, tetapi penganutnya atau
manusianya Anda hargai.
c. Ekumenis
Isi ajaran serta penganutnya dihargai, karena dalam ajaran
mereka itu terdapat unsur-unsur kebenaran yang berguna untuk memperdalam
pendirian dan kepercayaan sendiri.Contoh Anda dengan teman Anda sama-sama
beragama Islam atau Kristen tetapi berbeda aliran atau paham. Dalam kehidupan
beragama sikap toleransi ini sangatlah dibutuhkan, karena dengan sikap
toleransi ini kehidupan antar umat beragama dapat tetap berlangsung dengan
tetap saling menghargai dan memelihara hak dan kewajiban masing-masing.
Mengingat pentingnya toleransi, maka ia harus diajarkan
kepada anak-anak baik dilingkungan formal maupun lingkungan informal. Di
lingkungan formal contohnya siswa dapat dibekali tentang nilai-nilai yang
berkaitan dengan kerukunan umat beragama melalui bidang studi Agama,
Kewarganegaraan, ataupun melalui aspek pengembangan diri seperti Pramuka, PMR,
OSIS, dll. Hal yang sama dapat juga dilakukan di lingkungan informal oleh orang
tua kepada anak-anaknya melalui pengajaran nilai-nilai yang diajarkan sedini
mungkin di rumah.
D.
Toleransi
Perspektif Undang-Undang di Indonesia
Indonesia adalah bangsa
yang terdiri dari beragam suku dan agama, dengan adanya sikap toleransi dan
sikap menjaga hak dan kewajiban antar umat beragama, diharapkan masalah-masalah
yang berkaitan dengan sara tidak muncul kepermukaan. Dalam
kehidupan masyarakat sikap toleransi ini harus tetap dibina, jangan sampai bangsa
Indonesia terpecah antara satu sama lain
Toleransi Hak dan kewajiban dalam umat
beragama telah tertanam dalam nilai-nilai yang ada pada pancasila. Indonesia
adalah Negara majemuk yang terdiri dari berbagai macam etnis dan agama, tanpa
adanya sikap saling menghormati antara hak dan kewajiban maka akan dapat muncul
berbagai macam gesekan-gesekan antar umat beragama.
Pemeluk agama mayoritas
wajib menghargai ajaran dan keyakinan pemeluk agama lain, karena dalam UUD 1945
Pasal 29 ayat 2 dikatakan bahwa “setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya.” Hal ini berarti kita tidak boleh
memaksakan kehendak, terutama dalam hal kepercayaan, kepada penganut agama
lain, termasuk mengejek ajaran dan cara peribadatan mereka.
E. Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam pandangan
Islam
1.
Menghindari Perpecahan
Dengan belajar dan melakukan Toleransi
Beragama maka kita juga belajar bagaimana agar bangsa besar kita ini indonesia dapat bertahan lama. Negara
kita terbukti sangat peka terhadap isu keagamaan oleh karena itu jika tidak
bisa menjaga hubungan baik antara agama. Bahaya besar telah menanti bangsa ini.
2. Mempererat Hubungan
Dengan
toleransi beragama tidak hanya dapat menghindarkan kita dari sebuah
perpecahan tapi juga dapat membuat kita lebih solid dalam hubungan
kemasyarakatan. Dapat juga bertukar pikiran (bukan berdebat tentang agama yang lebih baik) agar dari hari kehari kehidupan ala multiagama di negara ini
menjadi sesuatu yang biasa dan tidak menjadi alasan terjadi pertikaian anatara
umat beragama.
3.
Mengokohkan Iman
Semua
agama mangajarkan hal yang baik bagaimana mngatur hubungan dengan
masyarakat yang beragama lain. Wujud nyata tingkah laku toleransi akan
menunjukkan perwujudan iman
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
F.
Faktor-Faktor
yang mempengaruhi Intoleransi Beragama
1. Sesat Pikir Terhadap The Others
Pertama,
suburnya intoleransi disebabkan oleh masih kukuhnya mindset sesat pikir
terhadap ‘the others’ dalam kehidupan keberagamaan kita. ‘The Others” atau ‘yang
lain’ lebih sering dilihat sebagai musuh yang harus disingkirkan, daripada
sebuah realitas yang harus dirawat.
Celakanya,
kalau mau jujur, sesat pikir terhadap yang lain (the others) bukan hanya
monopoli tunggal satu agama mainstream mayoritas saja, sebut saja Islam,
sebagaimana asumsi banyak kalangan selama ini. Mereka yang minoritaspun
berpotensi berperilaku sesat pikir terhadap ‘the others’.
Bahkan
mindset tersebut tampaknya telah menjadi watak ‘abadi’ dari semua agama/sekte
mainstream. Seperti nafsu birahi, mindset ini bisa menyergap agama dan
keyakinan apa saja. Ia sering kali muncul persis ketika agama mainstream
menemukan ruang dan kesempatan menunjukkan dominasi atau mayoritasnya.
Niat mulia
penganut Parmalim mendirikan ruma parsaktian (rumah ibadah) di tanahnya sendiri
dan dihalangi bukan oleh oleh umat mayoritas Islam, tetapi justru oleh penganut
Kristen (warga gereja HKBP) yang juga minoritas dan sering ‘merasa’ menjadi
korban diskriminasi oleh agama mainstream lainnya, menjelaskan hal tersebut.
Dalam bentuk lain mindset sesat pikir terhadap the others yang lebih massif
bisa kita temukan dalam persaingan dan konflik antar aliran/sekte dalam
lingkungan internal satu agama/keyakinan.
Kedua, intoleransi dipicu oleh masih menguatnya mentalitas split tolerance
(penyimpangan toleransi) dalam masyarakat kita. Di satu sisi umat beragama
sulit membangun toleransi antara umat beragama dan keyakinan yang sejatinya
merupakan pesan kuat agama/keyakinan (sufi), namun di sisi lain umat tampaknya
begitu toleran dengan praktik-praktik korupsi dan manipulasi yang ada di
sekitarnya yang bersifat profan.Dalam perspektif sosiologi politik, split
tolerance ini merupakan warisan dari masyarakat yang sedemikian lama hidup
dalam politik hipokrisi dan politik konservatif yang mengandalkan pendekatan
toleransi permisif, daripada politik substansial yang mengandalkan pendekatan
toleransi kritis.
2. Politisasi Agama Gaya Baru
Praktik intoleransi beragama dalam bentuk kekerasan
(atas nama) agama merupakan implikasi dari warisan politisasi agama orde baru
yang belum sepenuhnya sirna. Intoleransi beragama merupakan buah dari
politisasi negara terhadap agama lewat penciptaan label ‘agama resmi’
(mainstream) dan ‘agama tidak resmi’ (agama rakyat) yang nyatanya terus
berlangsung hingga kini.
Di masa lalu,
politisasi agama dilakukan negara, berselingkuh dengan agama mainstream, secara
langsung dengan melakukan politik koersif, mem-bredel aliran, sekte, dan bahkan
buku-buku?’sesat’, atas alasan bahwa yang dilarang tersebut illegal.
Sekarang
politisasi agama dilakukan dengan gaya baru dalam bentuk yang lebih soft.
Negara tidak lagi betindak keras secara langsung terhadap agama atau keyakinan
lain yang non mainstream. Politisasi agama sekarang diperankan oleh politik
sekelompok massa yang menjadi ‘Hakim’ atas agama dan keyakinan yang berkembang
di masyarakat. Sekelompok massa menggantikan negara melakukan tindak kekerasan
Ironisnya, bukan melindungi dan mencegah, negara justru ‘membiarkan’ praktik
kekerasan oleh sekelompok massa tersebut. Malah negara terkesan membiarkan
konflik yang muncul hingga berlarut-larut.
Lebih jauh lagi, politisasi agama
juga bisa dilihat dari sikap pemerintah yang diskriminatif dalam merespon
isu-isu agama. Pemerintahan SBY garang terhadap pendeta ngawur Terry Jones yang
berencana membakar kitab suci Alquran di Texas Amerika namun loyo bersikap
terhadap aksi sekelompok massa yang melakukan tindak kekerasan sebagaimana
terjadi terhadap warga Ahmadiya dan jemaat HKBP di Ciketing
3.
Empirisme Beragama
Suburnya intoleransi beragama bisa dibaca
sebagai implikasi dari masih minimnya praktik beragama (empirisme beragama).
Para penganut agama masih terjebak dengan praktik beragama dogmatik sehingga
mereka tidak makin cerdas memaknai semantika keagamaan, khususnya mengenai
teks-teks suci yang ada.
Kebenaran
masih dimaknai sekadar teks dan melupakan konteks. Hasilnya praktik
keberagamaan menjadi serba kaku. Semuanya diukur dari teks yang ada.
Kebenaranpun menjadi serba tekstual dan tunggal. Begitu teks kebenarannya diciderai
oleh agama atau kepercayaan lain, apalagi ‘agama baru’, maka tuduhan penghinaan
dan penodaan agama serta merta akan menjadi palu godam menghakimi kepercayaan
‘baru’ tersebut.
Begitu
kuatnya teks agama mendominasi sistem keberagamaan kita mengakibatkan konteks
(bahwa manusia itu plural dan agama berbeda menjalankan keyakinannya) nyaris
tidak mendapatkan tempat. Teks dibela habis-habisan lewat berbagai cara
mengingkari agama sendiri yang sejak awal memberi pesan kuat terhadap konteks
(keberagaman).
Dominasi pada teks atau doktrin ajaran agama (ortodoksi) membuat
keberagamaan kita timpang karena mengabaikan pengalaman beragama (ortopietas)
dan?praksis beragama (ortopraksis).?Padahal empirisme keberagamaan, yang
ditopang ortopietas dan ortopraksis, sangatlah penting untuk menopang toleransi
dalam keberagaman. Sebab, dalam banyak hal, sejrah mencatat bahwa toleransi di
republik ini justru tumbuh berbasis pada empirisme beragama yakni praktik
relasi sesama manusia, bukan pada teks-teks suci agama (ortodoksi).
G.
Desain
Toleransi Beragama
Toleransi atau kemerdekaan beragama dan berkeyakinan hanya bisa tumbuh bila
dua prasyarat mendasar terpenuhi. Pertama, negara (baca; pemerintah)
yang merdeka hadir di republik ini. Negara merdeka yang dimaksud tentu saja
bukan sekedar pemerintahan yang terpilih secara demokrasi (prosedural).
Negara
merdeka yang dimaksud adalah pemerintahan yang otonom untuk memerdekakan public
sphere sedemikian rupa sehingga dapat digunakan semua penganut agama (baca:
keyakinan) secara bebas dan damai.?
Dalam konteks
itu negara berperan dan berwenang mengelola ‘keteraturan beragama’, tetapi
tidak berwenang mengelola ‘pengaturan beragama’. Prinsipnya, semua keyakinan
agama (baik ‘resmi’ maupun ‘tidak resmi’, baik ‘lama’ maupun ‘baru’) harus
diberi kebebasan untuk hidup beribadah, dan mendirikan tempat ibadah sebagai
manifestasi hak asasi manusia yang paling mendasar.
Dan yang
paling penting, ketika kekerasan (atas nama) agama muncul, di sana negara harus
hadir menghentikan kekerasan dan melindungi korban kekerasan, sebagai bukti
konkretisasi konstitusi negara.
Kedua, kehidupan keberagamaan kita semakin mampu mengintegrasikan antara
teks dan konteks. Pada titik ini keberagamaan tidak cukup dengan hanya
mengandalkan dialog lintas agama dan perspektif pluralisme lagi. Kehidupan
beragama harus tiba pada kesadaran baru yang memerdekakan yang disebut dengan
pasca-pluralisme (Mark Heim, Salvation, 1995). Yakni kesadaran?bahwa ‘banyak
agama (baca:keyakinan) yang benar?dan masing-masing adalah satu-satunya jalan’.
Masing-masing keyakinan itu harus diakui benar dalam perspektif satu sama lain.
Dengan demikian kebenaran tidak bersifat singular apalagi tunggal, namun
plural. Di sanalah toleransi sejati bisa diretas.
Upaya memaksakan konsep penyatu, dengan menggabungkan konsep partikular masing-masing keyakinan (termasuk
mendorong negara menjadi penafsir tunggal terhadap sesat tidaknya sebuah agama
dan keyakinan), adalah perilaku primitif dalam memandang keberagamaan dan
berpotensi melanggengkan lumpur dosa praktik intoleran dan kekerasan (atas
nama) agama.
Kita berharap
tahun subur praktik intoleransi 2010 tidak berlanjut ke tahun 2011. Kita justru
berharap tahun 2011 menjadi tahun rahmat yang memberi harapan baru bagi
tumbuhnya toleransi di republik ini. Itu hanya mungkin bila pemerintah
introspeksi diri dan semakin mengacu kepada konstitusi untuk menyelenggarakan
negara.
Konstitusi harus menjadi ‘kitab suci’
penyelenggaraan negara. Penyelenggara negara harus menjadikan konstitusi
sebagai rujukan asas dan moral dalam membuat kebijakan. Oleh karenanya
konstitusi tidak bisa dibaca sekedar sebuah buku atau dokumen. Konstitusi harus
dibaca, meminjam Ronald Dworkin, sebagai sebuah moral reading (bacaan moral).
Di lain pihak, umat beragama tentu saja harus berbenah meninggalkan mentalitas
split tolerance.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar