Selasa, 08 Desember 2015

NURCHOLIS MAJID DAN IDE-IDE PEMBAHARUAN ISLAM




NURCHOLISH  MAJID
DAN IDE-IDE PEMBAHARUAN DALAM ISLAM

A.    Auto Biografi
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Namanya semat mencuat sebagai kandidat terkuat calon presiden Pemilu 2004.
Namun keputusannya sebagai Capres independen yang terlalu dini menyatakan bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, dan kemudian mengundurkan diri, telah memerosotkan peluangnya meraih kursi RI-1 itu. Sebelumnya, cukup banyak partai yang ingin melamarnya menjadi Capres. Namun selepas kesediaannya mengikuti konvensi Golkar itu, lamaran itu menjadi surut. Ia tampaknya tersendat cukup sebagai Capres pengeras suara, seperti pernah dikemukakannya.
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984).
Dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiyah.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain,
menjadi pengemudi lokomotif yang membawa gerbong bangsa.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi.
Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Politik praktis mulai dikenalnya saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme.
Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global, seperti halnya demokrasi.
Pemikirannya tersebar melalui berbagai tulisan yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga ia digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”.Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”.
Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam.Partai atau organisasi Islam dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah.
Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.Ide pembaharuan Islam Cak Nur merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasibangsa.
Sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nurholish Madjid sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Pemikirannya diaggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

Reformasi 1998
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Ialah yang sering diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran beliau, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih parah.

Kontroversi

Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan yang paling kontroversial adalah ketika Cak Nur menyatakan "Islam Yes, Partai No?", sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.


Meninggal

Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.


Pendidikan
  • Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955 (Setingkat MI-MTs-MA)
  • Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960 (MA)
  • Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
  • Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
·  The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois, Amerika Serikat, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam) Bidang yang diminati Filsafah dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama Sosiologi Agama, Politik negara-negara berkembang

Pekerjaan
  • Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978–1984
  • Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984–2005
  • Guru Besar, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985–2005
  • Rektor, Universitas Paramadina, Jakarta, 1998–2005


Karir (lain-lain)
  • Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
  • Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
  • Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
  • Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
  • Anggota KOMNAS HAM , 1993-2005
  • Profesor Tamu, McGill University , Montreal, Kanada, 1991–1992
  • Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990–1995
  • Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
  • Penerima Cultural Award ICM, 1995
  • Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
  • Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998

Penerbitan (Sebagian)
  • The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
  • (“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
  • “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
  • “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
  • Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
  • Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
  • Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
  • Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
  • Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
  • Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
  • Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
  • Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
  • “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
  • IslamicThoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
  • “Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
  • Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
  • Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)
  • Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah Jumat di Paramadina) (Jakarta:Paramadina,

    Kegiatan
  • Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992, Bellagio, Italia
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Wina, Austria
  • Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat
  • Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
  • Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
  • Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellagio, Italia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.
  • Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
  • Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
  • Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
  • Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat
  • Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria
  • Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
  • Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat
  • Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat
  • Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat
  • Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika Serikat
  • Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
  • Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
  • Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania
B.     Ide-ide Pembaharuan
1.         Periode I Pemikiran Nurcholis Majid (1965-1978): Integrasi Keislaman – Keindonesiaan

Nurcholis Majid adalah salah satu dari pemikir terbaik Indonesia yang telah mengontribusi pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer, khususnya pada tahun 1990 dalam mempersiapkan “umat Islam Indonesia memasuki zaman modern.”
Sebagaimana pemikir “modernis” atau “liberal” Indonesia atau dunia lainnya, sangat menyadari bahwa adanya perubahan sosial yang sangat besar dewasa ini akan berpengaruh pada dunia Islam. Perubahan ini terjadi sejak awal abad 19, secara keseluruhan berpengaruh dan mendorong kepada perubahan-perubahan dikalangan umat islam di Indonesia.
Sementara itu, dinamika dan perkembangan agama dan politik di Indonesia sendiri sejak kemerdekaan terjadi sedemikian dasyatnya sehingga keadaan ini berpengaruh kepada umat islam Indonesia yang mayoritas beragama islam, sehingga setiap pemikiran islam Indonesia adalah sebenarnya sekaligus pemikiran tentang Indonesia.
Salah satu hal yang unik dalam perkembangan pemikiran Nurcholish adalah kentalnya latar belakang pesantren yang penuh khazanah Islam Klasik karena ia menjalani masa remajanya di pesantren, yang membentuk kecenderungan pemikirannya. Bahkan pemikiran Nurcholish adalah sebuah bentuk “reformasi pemikiran Islam pesantren” yang pada saat itu sedang menghadapi tantangan yang berat. Jika pesantren tidak mampu memberi respon yang tepat, maka pesantren akan kehilangan relevansinya, dan akar-akarnya dalam masyarakat akan tercabut dengan sendirinya, dengan segala kerugian yang ba Orgakal ditanggung.
Karir intelektualnya sebagai pemikir Muslim dimulai pada masa di IAIN Jakarta, khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), selama dua kali periode, pada tahun 1966-1968, dan 1969-1971. Dalam masa itu, ia juga menjadi presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Studens Organizations), 1969-1971.
Dalam masa sebagai aktivis mahasiswa inilah, Nurcholish membangun citra dirinya sebagai seorang pemikir muda Islam. Pada tahun 1968, Ia menulis karangan yang sangat terkenal di lingkungan HMI, yaitu : “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan Westernisasi.” Karangan ini dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia, yang menjadikannya dijuluki “Natsir Muda”. Setahun kemudian ia menulis sebuah buku pedoman ideologis HMI, yang disebut Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan bernama Nilai-nilai Identitas Kader (NIK) HMI. Dalam menulis Risalah NDP diilhami oleh tiga fakta:
Pertama, adalah belum adanya bahan bacaan yang komprehenship dan sistematis mengenai ideologi Islam. Ia menyadari sepenuhnya kekurangan yang terdapat di orde lama, ketika generasi muda Islam, khususnya HMI terus- menerus terlibat pertikaian ideologis dengan kaum komunis dan kaum nasionalis kiri, sehingga sangat diperlukan senjata untuk membalas serangan ideologis mereka.
Kedua, Dorongan rasa irinya terhadap anak-anak muda komunis. Oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) mereka dilengkapi dengan sebuah buku Pedoman bernama Pustaka Kecil Marxis, yang di kenal dengan singkatannya PKM
Ketiga, Sangat terkesan oleh buku kecil karangan Willi Eichker yang berjudul Fundamental Values and Basic Demands of Democratic Sosialism. Bukunya itu berisi upaya perumusan kembali ideologi Partai Sosialis Demokrat Jerman (SPD) di Jerman Barat. Sekalipun asal mula partai itu adalah gerakan yang bertiik tolak dari Marxisme, yang tentu saja sekular, tetapi dalam perkembangannya Marxisme tidak lagi dianut secara dogmatis dan statis, melainkan dikembangkan secara amat liberal dan dinamis. Salah satu bentuk pengembangannya adalah memasukkan unsur keagamaan ke dalam sistem ideologinya.
Salah satu pokok  yang menarik Nurcholish dalam teori Eichler ialah pemahamannya tentang demokrasi dan sosialism atau keadilan sosial yang dinamis. Yang dimaksud dinamis oleh Nurcholis bahwasanya demokrasi serta keadilan sosial tidak dapat dirumuskan sekali jadi untuk selama-lamanya, tetapi nilaai-nilai itu tumbuh sebagai proses yang berkepanjangan dan lestari tanpa putus-putusnya. Masyarakat akan disebut demokratis selama terjadi proses yang tidak terputus bagi terselenggaranya sistem pergaulan antar manusia yang semakin menghormati dan mengakui hak-hak asasinya. Dan masyarakat akan disebut sosialis atau berkeadilan sosial kalau ia mengembangkan sistem ekonomi yang semakin luas dan merata penyebaran dan pemanfaatannya.
Nurcholis berpendapat bahwa “ terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian ‘sekularisasi’ secara sosiologis dan secara filosofis”, karena demikian kontroversialnya istilah ‘sekular’,‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’, maka ia menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.
Gagasan pembaharuan Nurcholish Majid yang paling kontroversial, dan telah menyebabkan polemik berlarut-larut bahkan sampai sekarang adalah “Islam yes, Partai Islam, No” dan khususnya soal sekularisasi. Budhy Munawar dalam Nurcholis (2013: xxvii) menyatakan:
“Jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik....ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute, memfosil, kehilangan dinamika....partai-partai Islam tidak berhasil image yang positif dan simpatik, partai Islam itu sekarang bukan hal yang essensial, dan sama sekali tidak berhubungan dengan essensi keislaman. Itulah makna “sekularisasi”, yaitu mengembalikan mana yang sakral, sebagai sakral, dan yang profan, sebagai profan. Politik islam (dengan cita-cita mendirikan negara Islam) yang tadinya dianggap “sakral” yaitu merupakan bagian dari perjuangan Islam, sekarang “didesaklarifikasi”.

Periode I pemikiran Nurcholish Madjid sangat ekspresif, dan telah mendapat perhatian akademik yang luas secara internasional. Ide-ide pembaharuannya yang kontroversial berlangsung hingga masa “Periode II’ pemikiran Nurcholish Madjid.
Pemikiran Nurcholish periode ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri dalam konteks lokal dan problem kontemporer, tapi berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dunia Islam Internasiona, maupun pemikiran-pemikiran Islam yang sudah terjadi sebelum masa Orde Baru, khususnya tokoh-tokoh Masyumi (sebelum 1955). Mereka semua adalah golongan yang biasa disebut”kaum modernis Islam.”
Ciri kaum modernis adalah mengupayakan penghadiran islam dan memberi isi, serta peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah, dengan kata lain menghadirkan Islam dalam tuntutan kemodernan. Sehingga pada tahun 1960-an, pemikiran Islam Indonesia diwarnai soal-soal di sekitar modernisasi dan implikasinya.
Kuntowijoyo berpendapat: “pada saat ini terjadi pergeseran orientasi keislaman dari periode sejarah islam yang bersifat “ mitos”  dan “ideologis” menjadi periode “ide” atau “ilmu”, sehingga terlihat upaya yang disebut dengan “merumuskan konsep-konsep normatif Islam menjadi teori ilmiah”.
Nurcholish menganggap “modernisasi berarti berfikir dan bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam. Maka modernisasi adalah keharusan bahkan suatu kewajiban mutlak. ”Modernisasi merupakan suatu perintah dan ajaran dari Tuhan”.
Persoalan nyata dibalik perdebatan modernisasi sebelum tahun 1970-an, bukan terletak pada masalah substansif dan pragmatis yang menyangkut proses modernisasi, tetapi lebih pada soal orientasi ideologis dari kaum elite modern Islam. Artinya menyangkut perjuangan memperoleh hegemoni religio-politik yang waktu itu elite Islam dilanda frustasi politik, karena kurang dilibatkan dalam pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Soekarno yang menjadi pusat perhatiannya bukanlah modernisasi Islam atau pembaharuan Islam melainkan soal agama dan hubungannya dengan pembentukan bangsa Indonesia. Soekarno sedang mencari cari sesuatu dalam Islam yang dapat digunakan untuk mendukung konsepnya tentang pembangunan bangsa (nation building) melalui revolusi yang terus berkelanjutan untuk mempersatukan kaum muslim dengan kaum nasionalis dan kaum komunis dalam wadah NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunis)
Persoalan modernisasi Islam atau modernisasi pada umumnya memperoleh dorongan baru sesudah masa Soekarno dengan lahirnya Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Soeharto, pembangunan bangsa ingin dilakukan terutama melalui pembangunan ekonomi. Pembangunan ini banyak mengandung implikasi, dan salah satunya adalah modernisasi yang pada gilirannya melibatkan persoalan-persoalan seperti pendekatan pragmatis terhadap berbagai masalah (bukan lagi pendekatan ideologis seperti di zaman Orde lama), rasionalisasi dan terutama sekali sekularisasi bangsa.
Pada saat itu kalangan islam pada umumnya sangat menentang gagasan pragmatisme, rasionalisme dan sekuarisme yang dicap sebagai kafir. Nurcholish dalam makalahnya yang berjudul “ Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat” menyatakan bahwa Muslim Indonesia mengalami kemandekan dallam pemikiran keagamaan mereka, dan telah kehilangan psychological stiking force dalam perjuangan mereka. Beberapa petunjuk dan indikasinya adalah ketidakmampuan mayoritas kaum muslim untuk membedakan nilai-nilai transendental dari nilai-nilai temporala. Malah hierarki nilai-nilai itu, dalam pengamatan Nurcholish sering kali diperlakukan terbalik: nilai-nilai yang transenden dipahami sebagai nilai-nilai yang temporal dan sebaliknya. Akibatnya Islam dipandang senilai dengan tradisi, dan menjadi Islam berarti sederajat dengan menjadi tradisionalis.
Maka bagi Nurcholis kemandekan ini harus didobrak, syaratnya”kaum Muslim harus siap menempuh jalan pembaharuan pemikiran Islam sekalipun pilihan itu harus disertai resiko mengorbankan integrasi umat”, agar dapat menjalankan pembaruan pemikiran keagamaan, kaum muslim harus dapat membebaskan diri mereka dari kecenderungan mentransendensikan nilai-nilai yang sebenarnya bersifat profan belaka. Dan sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa Islam kekal dan universal, maka ada kewajiban inheren bagi kaum muslim untuk menampilkan pemikiran kreatif yang relevan dengan tuntutan zaman. Selain itu pembaharuan pemikiran keagamaan itu hanya dapat dicapai apabila kaum muslim memiliki tingkat kepercaan diri yang tinggi unuk membiarkan gagasan-gagasan apapun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan-gagasan itu untuk dikemukakan secara bebas. Dan yang lebih penting lagi, mengingat bahwa Islam memandang manusia secara alamiah berorientasi kepada kebenaran (hanif), maka kaum muslim harus bersikap terbuka, yaitu harus bersedia menerima dan menyerap gagasan-gagasan apapun, tanpa menghiraukan asal-usulnya, asal saja gagasan-gagasan tersebut secara objektif menyampaikan kebenaran.
Artikel Nurcholish pada masa itu didasarkan pada pemahaman mengenai dua prinsip dasar islam, yaitu:
·           Konsep mengenai al – tauhid (keesaan Tuhan)
Nurcholish merumuskan premis-premis teologis yang menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki transendensi dan kebenaran mutlak, dan sebagai konsekuensi dari penerimaan mereka terhadap prinsip monoteistik, sudah seharusnya kaum muslim memandang dunia ini dan masalah-masalah keduniaan yang temporal seperti apa adanya, artinya tidak perlu disakralkan. Karena memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya dengan cara yang sakral atau transendental dapat dianggap bertentangan dengan inti paham monoteisme islam.
·           Gagasan bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di atas bumi
Sekularisasi berbeda dengan sekularisme. Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis akan tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat islam dari kecenderungan unttuk meng-ukhrawi-kannya. Sekularisasi ini sebagai conditio sine quo non yang memungkinkan kaum muslim untuk melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme Islam dengan kenyataan-kenyataan Indonesia sejalan dengan fungsi mereka sebagai kholifah Tuhan di atas bumi
2.         Periode II (1984-2005): Integrasi Keislaman dengan Keindonesiaan dan Kemodernan
Nurcholis meyakini apa yang dikehendaki Islam tentang tatanan sosial –politik atau negara dan pemerintahan, adalah apa yang dikehendaki ide-ide modern berkaitan dengan pandangan negara dan pemerintahan yang pokok pangkalnya adalah masalah-masalah egalitarianisme, demokrasi, partisipasi, dan keadilan sosial, yaitu bagaimana menghadirkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial-politik ini adalah inti keberagaman Islam atau istilah populernya adalah mewujudkan “masyarakat madani” (civil society) yaitu suatu masyarakat yang beretika dan berperadaban sebagaimana yang dicontohkan dalam kehidupan zaman Nabi Muhammad SAW dan selama masa 30 tahun kekhalifahan yang paling ideal dalam kehidupan sosial politik.
Nurcholish mencoba merelevansikan Piagam Madinah dengan konteks Indonesia. Ia menganalogikan Pancasila dengan Piagam Madinah ini sebagai sama-sama common platform atau istilah populer di kalangan antar agama, common word (kalimatun sawa) yaitu antar berbagai macam kelompok masyarakat dan agama. Menurutnya walaupun Pancasila sebagai etika bangsa baru mantap pada tingkat formal-konstitusional, tetapi peragiannya yang bisa diperoleh dari beberapa sumber (islam) yang akan memperkaya proses pengisian etika politik Pancasila tersebut.
Sebagai “strategi” penerimaan paham Indonesia yang modern, ia mengaitkan nilai-nilai Islam dengan demokrasi, yaitu pengaturan tatanan kehidupan atas dasar kemanusiaan (kehendak bersama). Imaan menuntut agar segala hal antara sesama manusia itu diselesaikan melalui musyawarah antara para pesertanya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Dokumen pidato perpisahan Nabi dalam haji wada’ menurut Nurcholish mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi yang menjadikan Islam sebagai ajaran keagamaan yang sangat menghargai manusia, yang menghargai individu atas dasar prinsip egalitarianisme, demokratis, partisipatif dan keadilan. Isi pidato tersebut memuat poin-poin:
Pertama, Prinsip persamaan seluruh umat manusia  karena Tuhan seluruh umat manusia adalah satu dan ayah atau nenek moyang seluruh umat manusia adalah satu (sama) yaitu Adam.
Kedua, Nurcholish menyebut bahwa darah atau nyawa begitu pula harta dan kehormatannya adalah suci, karena itu mutlak dilindungi dan tidak boleh dilanggar. Prinsip hak asasi manusia yang paling mendasar :
 “Barang siapa membunuh seseorang tanpa kesalahan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaikan membunuh seluruh umat manusia, dan barang siapa menolong hidup seseorang maka bagaikan menolong hidup seluruh umat manusia.”

Ketiaga, Rasulullah mengingatkan bahwa kejahatan tidak akan menimpa kecuali atas pelakunya sendiri, ditegaskan juga bahwa seorang muslim adalah saudara bagi sesamanya, sehingga tidak dibenarkan melanggar hak sesamanya.
Keempat, Muhammad mengingatkan agar sesudah beliau, manusia tidak kembali menjadi sesat dan kafir, kemudian saling bermusuhan. Manusia tidak boleh saling menindas. Semua bentuk penindasan dan kedhaliman di masa Jahiliyah dinyatakan batal, termasuk transaksi ekonomi berdasarkan riba. 
Kelima, Nabi menasehatkan untuk menjaga diri berkenaan dengan wanita (istri), karena wanita adalah makhluk yang sama sekali tergantung kepada pria (suami). Ditegaskan bahwa wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban yang sama secara timbal balik.
Dokumen pidato perpisahan Nabi ini menurut Nurcholish mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar