NURCHOLISH MAJID
DAN IDE-IDE PEMBAHARUAN DALAM ISLAM
A.
Auto Biografi
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur, itu
merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia
cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan tentang pluralisme telah
menempatkannya sebagai intelektual muslim terdepan. Terlebih di saat Indonesia
sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi
bangsa. Namanya semat mencuat sebagai kandidat terkuat calon presiden Pemilu
2004.
Namun keputusannya sebagai Capres independen yang terlalu dini menyatakan bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, dan kemudian mengundurkan diri, telah memerosotkan peluangnya meraih kursi RI-1 itu. Sebelumnya, cukup banyak partai yang ingin melamarnya menjadi Capres. Namun selepas kesediaannya mengikuti konvensi Golkar itu, lamaran itu menjadi surut. Ia tampaknya tersendat cukup sebagai Capres pengeras suara, seperti pernah dikemukakannya.
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984).
Namun keputusannya sebagai Capres independen yang terlalu dini menyatakan bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden Partai Golkar, dan kemudian mengundurkan diri, telah memerosotkan peluangnya meraih kursi RI-1 itu. Sebelumnya, cukup banyak partai yang ingin melamarnya menjadi Capres. Namun selepas kesediaannya mengikuti konvensi Golkar itu, lamaran itu menjadi surut. Ia tampaknya tersendat cukup sebagai Capres pengeras suara, seperti pernah dikemukakannya.
Nurcholis Madjid, yang populer dipanggil Cak Nur dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984).
Dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiyah.
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain,
Nurcholish Madjid kecil semula bercita-cita menjadi masinis kereta api. Namun, setelah dewasa malah menjadi kandidat masinis dalam bentuk lain,
menjadi pengemudi
lokomotif yang membawa gerbong bangsa.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi.
Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Politik praktis mulai dikenalnya saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme.
Sebenarnya menjadi masinis lokomotif politik adalah pilihan yang lebih masuk akal. Nurcholish muda hidup di tengah keluarga yang lebih kental membicarakan soal politik ketimbang mesin uap. Keluarganya berasal dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan ayahnya, Kiai Haji Abdul Madjid, adalah salah seorang pemimpin partai politik Masyumi. Saat terjadi “geger” politik NU keluar dari Masyumi dan membentuk partai sendiri, ayahnya tetap bertahan di Masyumi.
Kesadaran politik Nurcholish muda terpicu oleh kegiatan orang tuanya yang sangat aktif dalam urusan pemilu. Politik praktis mulai dikenalnya saat menjadi mahasiswa. Ia terpilih sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, tempat Nurcholish menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Institut Agama Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Jakarta. Pengalamannya bertambah saat menjadi salah satu calon Ketua Umum Pengurus Besar HMI.
Kendati memimpin organisasi mahasiswa ekstrakurikuler yang disegani pada awal zaman Orde Baru, Nurcholish tidak menonjol di lapangan sebagai demonstran. Bahkan namanya juga tidak berkibar di lingkungan politik sebagai pengurus Komite Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kumpulan mahasiswa yang dianggap berperan menumbangkan Presiden Sukarno dan mendudukkan Mayor Jenderal Soeharto sebagai penggantinya. Prestasi Cak Nur lebih terukir di pentas pemikiran. Terutama pendapatnya tentang soal demokrasi, pluralisme, humanisme, dan keyakinannya untuk memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan westernisme.
Modernisme dilihat Cak Nur sebagai gejala global,
seperti halnya demokrasi.
Pemikirannya tersebar melalui berbagai tulisan yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga ia digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”.Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”.
Pemikirannya tersebar melalui berbagai tulisan yang dimuat secara berkala di tabloid Mimbar Demokrasi, yang diterbitkan HMI. Gagasan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara ini memukau banyak orang, hingga ia digelari oleh orang-orang Masyumi sebagai “Natsir muda”.Pemikirannya yang paling menggegerkan khalayak, terutama para aktivis gerakan Islam, adalah saat pemimpin umum majalah Mimbar Jakarta ini melontarkan pernyataan “Islam yes, partai Islam no”.
Ia ketika itu menganggap partai-partai Islam sudah
menjadi “Tuhan” baru bagi orang-orang Islam.Partai atau organisasi Islam
dianggap sakral dan orang Islam yang tak memilih partai Islam dalam pemilu
dituding melakukan dosa besar. Bahkan, bagi kalangan NU, haram memilih Partai
Masyumi. Padahal orang Islam tersebar di mana-mana, termasuk di partai milik
penguasa Orde Baru, Golkar. Pada waktu itu sedang tumbuh obsesi persatuan
Islam. Kalau tidak bersatu, Islam menjadi lemah.
Cak Nur menawarkan tradisi baru bahwa dalam semangat
demokrasi tidak harus bersatu dalam organisasi karena keyakinan, tetapi dalam
konteks yang lebih luas, yaitu kebangsaan.Ide pembaharuan Islam Cak Nur
merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya
tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan,
terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan
ancaman disintegrasibangsa.
Sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nurholish Madjid sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Pemikirannya diaggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nurholish Madjid sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Pemikirannya diaggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
Reformasi 1998
Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa
Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Ialah yang sering
diminta nasihat oleh Presiden Soeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca
kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang
merupakan imbas krisis 1997. Atas saran beliau, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan
diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak yang lebih parah.
Kontroversi
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan yang paling kontroversial adalah ketika Cak Nur menyatakan "Islam Yes, Partai No?", sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
Meninggal
Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.
Pendidikan
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan yang paling kontroversial adalah ketika Cak Nur menyatakan "Islam Yes, Partai No?", sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
Meninggal
Cak Nur meninggal dunia pada 29 Agustus 2005 akibat penyakit sirosis hati yang dideritanya. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena dianggap telah banyak berjasa kepada negara.
Pendidikan
- Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, 1955 (Setingkat MI-MTs-MA)
- Pesantren Darul Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur 1960 (MA)
- Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1965 (BA, Sastra Arab)
- Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968 (Doktorandus, Sastra Arab)
·
The University of Chicago (Universitas Chicago), Chicago, Illinois,
Amerika Serikat, 1984 (Ph.D, Studi Agama Islam) Bidang yang diminati Filsafah
dan Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama
Sosiologi Agama, Politik negara-negara berkembang
Pekerjaan
Pekerjaan
- Peneliti, Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978–1984
- Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984–2005
- Guru Besar, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 1985–2005
- Rektor, Universitas Paramadina, Jakarta, 1998–2005
Karir (lain-lain)
- Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992–1997
- Anggota Dewan Pers Nasional, 1990–1998
- Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985–2005
- Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia, Amerika Serikat, 1990
- Anggota KOMNAS HAM , 1993-2005
- Profesor Tamu, McGill University , Montreal, Kanada, 1991–1992
- Wakil Ketua, Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 1990–1995
- Anggota Dewan Penasehat ICM, 1996
- Penerima Cultural Award ICM, 1995
- Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998–2005
- Penerima Bintang Mahaputra, Jakarta 1998
Penerbitan (Sebagian)
- The issue of modernization among Muslim in Indonesia, a participant point of view in Gloria Davies, ed. What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
- (“Issue tentang modernisasi di antara Muslim di Indonesia: Titik pandangan seorang peserta” dalam Gloria Davies edisi. Apakah kebudayaan Indonesia Modern (Athens, Ohio, Ohio University, 1978)
- “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly, Ed. Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
- “Islam Di Indonesia: Tantangan dan Peluang”” dalam Cyriac K. Pullapilly, Edisi, Islam dalam Dunia Modern (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982)
- Khazanah Intelektual Islam (Intellectual Treasure of Islam) (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
- Khazanah, Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982)
- Islam Kemoderanan dan Keindonesiaan (Islam, Modernity and Indonesianism), (Bandung: Mizan, 1987, 1988)
- Islam, Doktrin dan Peradaban (Islam, Doctrines and civilizations), (Jakarta, Paramadina, 1992)
- Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan (Islam, Populism and Indonesianism) (Bandung: Mizan, 1993)
- Pintu-pintu menuju Tuhan (Gates to God), (Jakarta, Paramdina, 1994)
- Islam, Agama Kemanusiaan (Islam, the religion of Humanism), (Jakarta, Paramadina, 1995)
- Islam, Agama Peradaban (Islam, the Religion of Civilization), (Jakarta, Paramadina, 1995)
- “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward ed., Toward a new Paradigm, Recent Developments in Indonesian
- IslamicThoughts (Tempe, Arizona: Arizona State University, 1996)
- “Pencarian akar-akar Islam bagi pluralisme Modern : Pengalaman Indonesia dalam Mark Woodward edisi, menuju suatu dalam paradigma baru, Perkembangan terkini dalam pemikiran Islam Indonesia (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996)
- Dialog Keterbukaan (Dialogues of Openness), (Jakarta, Paradima, 1997)
- Cendekiawan dan Religious Masyarakat (Intellectuals and Community’s Religiously), (Jakarta: Paramadina, 1999)
- Pesan-pesan Takwa (kumpulan khutbah
Jumat di Paramadina) (Jakarta:Paramadina,
Kegiatan
- Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, November 1992, Bellagio, Italia
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Wina, Austria
- Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat
- Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran.
- Presenter, Seminar internasional tentang “Ekspresi-ekspresi kebudayaan tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Casablanca, Maroko
- Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellagio, Italia
- Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia
- Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia
- Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Belanda.
- Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang
- Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia
- Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur
- Pembicara, konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington, DC, Amerika Serikat
- Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konperensi Kedua), Mei 1997, Wina, Austria
- Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, November 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, Amerika Serikat
- Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” November 1997, Universitas Georgetown, Washington, DC, Amerika Serikat
- Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, November 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, Amerika Serikat
- Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), November 1997, San Francisco, California, Amerika Serikat
- Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (American Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, November 1997, California, Amerika Serikat
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Jenewa, Swiss
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak asasi Manusia”, November 1998 State Department (Departemen Luar Negeri Amerika), Washington DC, Amerika Serikat
- Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia
- Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, November 1999, Ito, Jepang
- Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), November 1999, Amman, Yordania
B.
Ide-ide
Pembaharuan
1.
Periode I Pemikiran Nurcholis Majid
(1965-1978): Integrasi Keislaman – Keindonesiaan
Nurcholis Majid
adalah salah satu dari pemikir terbaik Indonesia yang telah mengontribusi
pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer, khususnya pada tahun 1990 dalam
mempersiapkan “umat Islam Indonesia memasuki zaman modern.”
Sebagaimana
pemikir “modernis” atau “liberal” Indonesia atau dunia lainnya, sangat
menyadari bahwa adanya perubahan sosial yang sangat besar dewasa ini akan
berpengaruh pada dunia Islam. Perubahan ini terjadi sejak awal abad 19, secara
keseluruhan berpengaruh dan mendorong kepada perubahan-perubahan dikalangan
umat islam di Indonesia.
Sementara itu,
dinamika dan perkembangan agama dan politik di Indonesia sendiri sejak
kemerdekaan terjadi sedemikian dasyatnya sehingga keadaan ini berpengaruh
kepada umat islam Indonesia yang mayoritas beragama islam, sehingga setiap
pemikiran islam Indonesia adalah sebenarnya sekaligus pemikiran tentang
Indonesia.
Salah satu hal
yang unik dalam perkembangan pemikiran Nurcholish adalah kentalnya latar
belakang pesantren yang penuh khazanah Islam Klasik karena ia menjalani masa
remajanya di pesantren, yang membentuk kecenderungan pemikirannya. Bahkan
pemikiran Nurcholish adalah sebuah bentuk “reformasi pemikiran Islam pesantren”
yang pada saat itu sedang menghadapi tantangan yang berat. Jika pesantren tidak
mampu memberi respon yang tepat, maka pesantren akan kehilangan relevansinya,
dan akar-akarnya dalam masyarakat akan tercabut dengan sendirinya, dengan
segala kerugian yang ba Orgakal ditanggung.
Karir
intelektualnya sebagai pemikir Muslim dimulai pada masa di IAIN Jakarta,
khususnya ketika menjadi Ketua Umum PB HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), selama
dua kali periode, pada tahun 1966-1968, dan 1969-1971. Dalam masa itu, ia juga
menjadi presiden pertama PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), dan
Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Studens Organizations),
1969-1971.
Dalam masa
sebagai aktivis mahasiswa inilah, Nurcholish membangun citra dirinya sebagai
seorang pemikir muda Islam. Pada tahun 1968, Ia menulis karangan yang sangat
terkenal di lingkungan HMI, yaitu : “Modernisasi ialah Rasionalisasi, bukan
Westernisasi.” Karangan ini dibicarakan di kalangan HMI seluruh Indonesia, yang
menjadikannya dijuluki “Natsir Muda”. Setahun kemudian ia menulis sebuah buku
pedoman ideologis HMI, yang disebut Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang
sampai sekarang masih dipakai sebagai buku dasar keislaman HMI, dan bernama
Nilai-nilai Identitas Kader (NIK) HMI. Dalam menulis Risalah NDP diilhami oleh
tiga fakta:
Pertama, adalah belum adanya bahan bacaan yang komprehenship dan
sistematis mengenai ideologi Islam. Ia menyadari sepenuhnya kekurangan yang
terdapat di orde lama, ketika generasi muda Islam, khususnya HMI terus- menerus
terlibat pertikaian ideologis dengan kaum komunis dan kaum nasionalis kiri,
sehingga sangat diperlukan senjata untuk membalas serangan ideologis mereka.
Kedua, Dorongan rasa irinya terhadap anak-anak muda komunis. Oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI) mereka dilengkapi dengan sebuah buku Pedoman bernama
Pustaka Kecil Marxis, yang di kenal dengan singkatannya PKM
Ketiga, Sangat terkesan oleh buku kecil karangan Willi Eichker yang
berjudul Fundamental Values and Basic Demands of Democratic Sosialism.
Bukunya itu berisi upaya perumusan kembali ideologi Partai Sosialis Demokrat
Jerman (SPD) di Jerman Barat. Sekalipun asal mula partai itu adalah gerakan
yang bertiik tolak dari Marxisme, yang tentu saja sekular, tetapi dalam
perkembangannya Marxisme tidak lagi dianut secara dogmatis dan statis,
melainkan dikembangkan secara amat liberal dan dinamis. Salah satu bentuk pengembangannya
adalah memasukkan unsur keagamaan ke dalam sistem ideologinya.
Salah satu
pokok yang menarik Nurcholish dalam
teori Eichler ialah pemahamannya tentang demokrasi dan sosialism atau keadilan
sosial yang dinamis. Yang dimaksud dinamis oleh Nurcholis bahwasanya demokrasi
serta keadilan sosial tidak dapat dirumuskan sekali jadi untuk selama-lamanya,
tetapi nilaai-nilai itu tumbuh sebagai proses yang berkepanjangan dan lestari
tanpa putus-putusnya. Masyarakat akan disebut demokratis selama terjadi proses
yang tidak terputus bagi terselenggaranya sistem pergaulan antar manusia yang
semakin menghormati dan mengakui hak-hak asasinya. Dan masyarakat akan disebut
sosialis atau berkeadilan sosial kalau ia mengembangkan sistem ekonomi yang
semakin luas dan merata penyebaran dan pemanfaatannya.
Nurcholis
berpendapat bahwa “ terdapat perbedaan cukup prinsipal antara pengertian
‘sekularisasi’ secara sosiologis dan secara filosofis”, karena demikian
kontroversialnya istilah ‘sekular’,‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’, maka ia
menggantikannya dengan istilah-istilah teknis lain yang lebih tepat dan netral.
Gagasan pembaharuan
Nurcholish Majid yang paling kontroversial, dan telah menyebabkan polemik
berlarut-larut bahkan sampai sekarang adalah “Islam yes, Partai Islam, No” dan
khususnya soal sekularisasi. Budhy Munawar dalam Nurcholis (2013: xxvii) menyatakan:
“Jika
partai-partai Islam merupakan wadah dari ide yang hendak diperjuangkan
berdasarkan Islam, maka jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang dalam keadaan tidak
menarik....ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolute,
memfosil, kehilangan dinamika....partai-partai Islam tidak berhasil image
yang positif dan simpatik, partai Islam itu sekarang bukan hal yang essensial,
dan sama sekali tidak berhubungan dengan essensi keislaman. Itulah makna
“sekularisasi”, yaitu mengembalikan mana yang sakral, sebagai sakral, dan yang
profan, sebagai profan. Politik islam (dengan cita-cita mendirikan negara
Islam) yang tadinya dianggap “sakral” yaitu merupakan bagian dari perjuangan
Islam, sekarang “didesaklarifikasi”.
Periode I
pemikiran Nurcholish Madjid sangat ekspresif, dan telah mendapat perhatian
akademik yang luas secara internasional. Ide-ide pembaharuannya yang kontroversial
berlangsung hingga masa “Periode II’ pemikiran Nurcholish Madjid.
Pemikiran
Nurcholish periode ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri dalam konteks lokal
dan problem kontemporer, tapi berkaitan erat dengan apa yang terjadi di dunia
Islam Internasiona, maupun pemikiran-pemikiran Islam yang sudah terjadi sebelum
masa Orde Baru, khususnya tokoh-tokoh Masyumi (sebelum 1955). Mereka semua
adalah golongan yang biasa disebut”kaum modernis Islam.”
Ciri kaum
modernis adalah mengupayakan penghadiran islam dan memberi isi, serta
peranannya di tengah masyarakat yang sedang berubah, dengan kata lain menghadirkan
Islam dalam tuntutan kemodernan. Sehingga pada tahun 1960-an, pemikiran Islam
Indonesia diwarnai soal-soal di sekitar modernisasi dan implikasinya.
Kuntowijoyo
berpendapat: “pada saat ini terjadi pergeseran orientasi keislaman dari periode
sejarah islam yang bersifat “ mitos” dan
“ideologis” menjadi periode “ide” atau “ilmu”, sehingga terlihat upaya yang
disebut dengan “merumuskan konsep-konsep normatif Islam menjadi teori ilmiah”.
Nurcholish
menganggap “modernisasi berarti berfikir dan bekerja sesuai dengan hukum-hukum
alam. Maka modernisasi adalah keharusan bahkan suatu kewajiban mutlak. ”Modernisasi
merupakan suatu perintah dan ajaran dari Tuhan”.
Persoalan nyata
dibalik perdebatan modernisasi sebelum tahun 1970-an, bukan terletak pada
masalah substansif dan pragmatis yang menyangkut proses modernisasi, tetapi
lebih pada soal orientasi ideologis dari kaum elite modern Islam. Artinya
menyangkut perjuangan memperoleh hegemoni religio-politik yang waktu itu elite
Islam dilanda frustasi politik, karena kurang dilibatkan dalam pemerintahan.
Pada masa
pemerintahan Soekarno yang menjadi pusat perhatiannya bukanlah modernisasi
Islam atau pembaharuan Islam melainkan soal agama dan hubungannya dengan
pembentukan bangsa Indonesia. Soekarno sedang mencari cari sesuatu dalam Islam
yang dapat digunakan untuk mendukung konsepnya tentang pembangunan bangsa
(nation building) melalui revolusi yang terus berkelanjutan untuk mempersatukan
kaum muslim dengan kaum nasionalis dan kaum komunis dalam wadah NASAKOM
(Nasionalisme, Agama, dan Komunis)
Persoalan
modernisasi Islam atau modernisasi pada umumnya memperoleh dorongan baru
sesudah masa Soekarno dengan lahirnya Orde Baru. Di bawah kepemimpinan
Soeharto, pembangunan bangsa ingin dilakukan terutama melalui pembangunan
ekonomi. Pembangunan ini banyak mengandung implikasi, dan salah satunya adalah
modernisasi yang pada gilirannya melibatkan persoalan-persoalan seperti
pendekatan pragmatis terhadap berbagai masalah (bukan lagi pendekatan ideologis
seperti di zaman Orde lama), rasionalisasi dan terutama sekali sekularisasi
bangsa.
Pada saat itu
kalangan islam pada umumnya sangat menentang gagasan pragmatisme, rasionalisme
dan sekuarisme yang dicap sebagai kafir. Nurcholish dalam makalahnya yang
berjudul “ Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat”
menyatakan bahwa Muslim Indonesia mengalami kemandekan dallam pemikiran
keagamaan mereka, dan telah kehilangan psychological stiking force dalam
perjuangan mereka. Beberapa petunjuk dan indikasinya adalah ketidakmampuan
mayoritas kaum muslim untuk membedakan nilai-nilai transendental dari
nilai-nilai temporala. Malah hierarki nilai-nilai itu, dalam pengamatan
Nurcholish sering kali diperlakukan terbalik: nilai-nilai yang transenden dipahami
sebagai nilai-nilai yang temporal dan sebaliknya. Akibatnya Islam dipandang
senilai dengan tradisi, dan menjadi Islam berarti sederajat dengan menjadi
tradisionalis.
Maka bagi
Nurcholis kemandekan ini harus didobrak, syaratnya”kaum Muslim harus siap menempuh
jalan pembaharuan pemikiran Islam sekalipun pilihan itu harus disertai resiko
mengorbankan integrasi umat”, agar dapat menjalankan pembaruan pemikiran
keagamaan, kaum muslim harus dapat membebaskan diri mereka dari kecenderungan
mentransendensikan nilai-nilai yang sebenarnya bersifat profan belaka. Dan sebagai
konsekuensi dari keyakinan bahwa Islam kekal dan universal, maka ada kewajiban
inheren bagi kaum muslim untuk menampilkan pemikiran kreatif yang relevan
dengan tuntutan zaman. Selain itu pembaharuan pemikiran keagamaan itu hanya
dapat dicapai apabila kaum muslim memiliki tingkat kepercaan diri yang tinggi
unuk membiarkan gagasan-gagasan apapun, betapapun tidak konvensionalnya
gagasan-gagasan itu untuk dikemukakan secara bebas. Dan yang lebih penting
lagi, mengingat bahwa Islam memandang manusia secara alamiah berorientasi
kepada kebenaran (hanif), maka kaum muslim harus bersikap terbuka, yaitu harus
bersedia menerima dan menyerap gagasan-gagasan apapun, tanpa menghiraukan
asal-usulnya, asal saja gagasan-gagasan tersebut secara objektif menyampaikan
kebenaran.
Artikel
Nurcholish pada masa itu didasarkan pada pemahaman mengenai dua prinsip dasar
islam, yaitu:
·
Konsep mengenai
al – tauhid (keesaan Tuhan)
Nurcholish merumuskan premis-premis teologis yang menegaskan bahwa
hanya Allah yang memiliki transendensi dan kebenaran mutlak, dan sebagai konsekuensi
dari penerimaan mereka terhadap prinsip monoteistik, sudah seharusnya kaum
muslim memandang dunia ini dan masalah-masalah keduniaan yang temporal seperti
apa adanya, artinya tidak perlu disakralkan. Karena memandang dunia dan semua
yang ada di dalamnya dengan cara yang sakral atau transendental dapat dianggap
bertentangan dengan inti paham monoteisme islam.
·
Gagasan bahwa
manusia adalah khalifah Tuhan di atas bumi
Sekularisasi berbeda dengan sekularisme. Sekularisasi tidaklah
dimaksudkan sebagai sekularisme dan mengubah kaum muslim menjadi sekularis akan
tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang semestinya bersifat
duniawi dan melepaskan umat islam dari kecenderungan unttuk meng-ukhrawi-kannya.
Sekularisasi ini sebagai conditio sine quo non yang memungkinkan kaum
muslim untuk melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme Islam dengan
kenyataan-kenyataan Indonesia sejalan dengan fungsi mereka sebagai kholifah Tuhan
di atas bumi
2.
Periode II
(1984-2005): Integrasi Keislaman dengan Keindonesiaan dan Kemodernan
Nurcholis
meyakini apa yang dikehendaki Islam tentang tatanan sosial –politik atau negara
dan pemerintahan, adalah apa yang dikehendaki ide-ide modern berkaitan dengan
pandangan negara dan pemerintahan yang pokok pangkalnya adalah masalah-masalah egalitarianisme,
demokrasi, partisipasi, dan keadilan sosial, yaitu bagaimana menghadirkan
nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial-politik ini adalah inti keberagaman
Islam atau istilah populernya adalah mewujudkan “masyarakat madani” (civil
society) yaitu suatu masyarakat yang beretika dan berperadaban sebagaimana yang
dicontohkan dalam kehidupan zaman Nabi Muhammad SAW dan selama masa 30 tahun
kekhalifahan yang paling ideal dalam kehidupan sosial politik.
Nurcholish
mencoba merelevansikan Piagam Madinah dengan konteks Indonesia. Ia
menganalogikan Pancasila dengan Piagam Madinah ini sebagai sama-sama common
platform atau istilah populer di kalangan antar agama, common word
(kalimatun sawa) yaitu antar berbagai macam kelompok masyarakat dan agama.
Menurutnya walaupun Pancasila sebagai etika bangsa baru mantap pada tingkat
formal-konstitusional, tetapi peragiannya yang bisa diperoleh dari beberapa
sumber (islam) yang akan memperkaya proses pengisian etika politik Pancasila
tersebut.
Sebagai
“strategi” penerimaan paham Indonesia yang modern, ia mengaitkan nilai-nilai
Islam dengan demokrasi, yaitu pengaturan tatanan kehidupan atas dasar
kemanusiaan (kehendak bersama). Imaan menuntut agar segala hal antara sesama
manusia itu diselesaikan melalui musyawarah antara para pesertanya, dengan hak
dan kewajiban yang sama.
Dokumen pidato
perpisahan Nabi dalam haji wada’ menurut Nurcholish mempunyai nilai kemanusiaan
yang tinggi yang menjadikan Islam sebagai ajaran keagamaan yang sangat
menghargai manusia, yang menghargai individu atas dasar prinsip
egalitarianisme, demokratis, partisipatif dan keadilan. Isi pidato tersebut
memuat poin-poin:
Pertama, Prinsip persamaan seluruh umat manusia karena Tuhan seluruh umat manusia adalah satu
dan ayah atau nenek moyang seluruh umat manusia adalah satu (sama) yaitu Adam.
Kedua, Nurcholish menyebut bahwa darah atau nyawa begitu pula harta dan
kehormatannya adalah suci, karena itu mutlak dilindungi dan tidak boleh
dilanggar. Prinsip hak asasi manusia yang paling mendasar :
“Barang siapa membunuh
seseorang tanpa kesalahan pembunuhan atau perusakan di bumi, maka bagaikan
membunuh seluruh umat manusia, dan barang siapa menolong hidup seseorang maka
bagaikan menolong hidup seluruh umat manusia.”
Ketiaga, Rasulullah mengingatkan bahwa kejahatan tidak akan menimpa kecuali
atas pelakunya sendiri, ditegaskan juga bahwa seorang muslim adalah saudara
bagi sesamanya, sehingga tidak dibenarkan melanggar hak sesamanya.
Keempat, Muhammad mengingatkan agar sesudah beliau, manusia tidak kembali
menjadi sesat dan kafir, kemudian saling bermusuhan. Manusia tidak boleh saling
menindas. Semua bentuk penindasan dan kedhaliman di masa Jahiliyah dinyatakan
batal, termasuk transaksi ekonomi berdasarkan riba.
Kelima, Nabi menasehatkan untuk menjaga diri berkenaan dengan wanita
(istri), karena wanita adalah makhluk yang sama sekali tergantung kepada pria
(suami). Ditegaskan bahwa wanita dan pria mempunyai hak dan kewajiban yang sama
secara timbal balik.
Dokumen pidato perpisahan Nabi ini menurut Nurcholish mempunyai
nilai kemanusiaan yang tinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar